Tautan-tautan Akses

Bagaimana Demokrasi Bisa Mati?


Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat di Gedung Putih (foto: ilustrasi). Profesor Daniel Ziblatt mengatakan bahwa sistem demokrasi sedang terancam di Amerika di bawah pemerintahan Trump.
Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat di Gedung Putih (foto: ilustrasi). Profesor Daniel Ziblatt mengatakan bahwa sistem demokrasi sedang terancam di Amerika di bawah pemerintahan Trump.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan lewat perwakilan yang umumnya banyak dijalankan di negara barat. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Latin “demos”, yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sistem ini mensyaratkan adanya pemilihan umum berkala di mana rakyat memilih wakil-wakil mereka. Tapi ada kalanya demokrasi itu mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan diktator.

Daniel Ziblatt adalah mahaguru sistem pemerintahan di Universitas Harvard di Amerika, yang baru saja menerbitkan buku berjudul “How Democracies Die” atau Mengapa Demokrasi Mati, yang ditulisnya bersama Profesor Steven Levistsky pakar ilmu politik di universitas yang sama.

Ziblatt menyebut empat ciri-ciri yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan diktator. Ketika membahas bukunya dalam sebuah diskusi di Universitas Harvard belum lama ini, Profesor Ziblatt mengatakan, “Kita melihat dalam kampanye pemilihan presiden yang baru lalu, calon presiden partai Republik melancarkan serangan atas media, dan mengancam tidak akan menerima hasil pemilihan umum. Ia juga menuduh saingan politiknya sebagai penjahat dan mengancam akan menjebloskannya ke penjara, kalau ia menang, dan ia juga membiarkan terjadinya aksi-aksi kekerasan.”

Kata Ziblatt, keempat ciri itu bisa dianggap sebagai petunjuk adanya sistem pemerintahan yang otoriter.

“Tidak seorangpun calon presiden dari partai besar di Amerika yang pernah melakukan hal itu. Karena itu kami ingin melihat negara-negara lain yang pernah mengalami ancaman terhadap sistem demokrasi, dan bagaimana mereka mengatasi krisis itu. Atau bagaimana sistem demokrasi dikalahkan oleh sistem otoriter itu,” ujarnya.

Kata Profesor Ziblatt, masalah yang dihadapi sistem politik di Amerika saat ini bukan hanya disebabkan oleh Donald Trump semata.

“Bukan hanya komentar-komentarnya yang mengejutkan dan berlebihan, dan latar belakang kejiwaan yang tidak biasa dan membingungkan. Tapi kita juga harus sadar bahwa semua itu hanyalah usaha pengalihan perhatian, dan kita harus bisa mempertahankan fokus pada hal-hal yang lebih penting.”

Cara terbaik untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter adalah mencegah supaya pemimpin seperti itu jangan mendapat kesempatan untuk berkuasa, kata Ziblatt.

“Ini berarti kita harus menyimak bagaimana Donald Trump terpilih, dan bagaimana ia bisa menjadi calon sebuah partai besar. Dalam masa Perang Dingin dulu, 75 persen kegagalan sistem demokrasi di seluruh dunia disebabkan kudeta militer.”

Tapi sejak runtuhnya sistem pemerintahan komunis, dunia telah berubah, kata Ziblatt. Kebanyakan pemerintahan demokratis dikalahkan lewat pemilihan umum, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politiknya.

“Demagog seperti itu naik ke puncak kekuasaan lewat pemilihan umum, dan kemudian ia akan mulai menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.”

Sampai tahun 1972 calon-calon presiden Amerika dipilih oleh para pemimpin partai, dan peran rakyat boleh dikata tidak penting. Tapi sejak itu, pemilihan presiden dilakukan secara lebih terbuka.

“Inilah yang terjadi tahun 2016. Donald Trump, demagog zaman modern menjadi calon presiden partai Republik. Jadi sejarah berulang kembali. Italia tahun 1920-an, Jerman tahun 1930-an, dan Venezuela dalam tahun 1990-an.”

Itulah pendapat profesor Daniel Ziblatt tentang sistem demokrasi yang katanya sedang terancam di Amerika. [ii]

Recommended

XS
SM
MD
LG