Sebanyak 31 anggota paskibra diaspora Indonesia terpilih untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih pada peringatan hari kemerdekaan RI ke-78. Meski hidup jauh dari tanah air, para diaspora pengibar bendera tak kehilangan identitas mereka.
Panas terik mengiringi derap langkah pasukan pengibar bendera, atau paskibra, di lapangan Wisma Indonesia, rumah dinas Duta Besar RI di Tilden, Washington D.C., Selasa (15/8) lalu.
Peluh yang membasahi wajah dan seragam putih mereka tidak melunturkan semangat untuk menyelesaikan prosesi gladi bersih menjelang upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-78. Sebelas remaja putri dan dua puluh remaja putra diaspora Indonesia usia 13-19 tahun diterjunkan ke lapangan, mayoritasnya telah lama tinggal atau justru lahir dan besar di AS.
Hanya dalam kurun waktu tiga minggu, selama libur musim panas sekolah, mereka yang telah diseleksi kemudian menempuh 12 kali latihan baris-berbaris secara intensif sejak 21 Juli lalu. Latihan itu dipimpin langsung oleh tim Atase Pertahanan KBRI Washington, di bawah pimpinan Marsekal Pertama Tjahja Elang Migdiawan.
Melatih remaja diaspora bukan perkara mudah, terutama bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Indonesia. “Mereka rata-rata dari kecil sudah hidup di (sini), sehingga faktor bahasa adalah kendala utamanya. Jadi kita latih mulai dari aba-aba yang paling dasar dan kita tekankan terus supaya mereka ingat,” jelas Migdiawan.
Cuaca panas yang menyengat juga menjadi tantangan selama masa latihan. Sejumlah anggota sempat pingsan saat berbaris di lapangan.
Meski demikian, pelatihan itu berbuah manis. Para anggota kini tidak hanya cakap baris berbaris, tapi juga mampu memahami dan memberi aba-aba dalam bahasa Indonesia. Melihat kemajuan tersebut, Migdiawan berharap, setelah upacara kemerdekaan berakhir, anggota paskibra yang telah menjalankan tugas dapat berbagi pengalaman mereka dengan melatih “adik-adiknya” kelak, sehingga kegiatan paskibra itu berkesinambungan.
Salam Bukan Salim
Pada usianya yang baru menginjak 13 tahun, Sophia Sherman menjadi salah satu anggota paskibra termuda tahun ini. Remaja putri yang lahir dan besar di AS itu tidak familiar dengan bahasa Indonesia sebelumnya. Namun, latihan yang rutin membuat Sophia semakin terbiasa dan mengerti komando-komando yang diberikan oleh para pelatihnya.
“(Kegiatan) ini sangat berarti bagi saya, karena saya sudah berlatih selama tiga minggu dan akhirnya bisa melakukan gerakan berbaris dengan benar. Saya juga bisa berinteraksi dengan anggota Paskibra lainnya,” ujarnya seraya menambahkan bahwa ia juga senang menjadi bagian dari komunitas itu.
Ayah Sophia, Seth Sherman, mengamini pernyataan putrinya. “Sangatlah penting untuk bisa memiliki identitas komunitas sendiri dan berteman dengan mereka yang memiliki pengalaman serupa. Orang-orang dari Indonesia dan orang-orang (keturunan Indonesia) yang lahir di sini; kombinasi dari keduanya menjadi sesuatu yang membuat Sophia merasa nyambung, di mana ia bisa membangun koneksi dan pertemanan.”
Seth juga melihat makna lebih dari keikutsertaan Sophia, “(Kegiatan) ini membuat dia merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ia bisa menceritakan pengalamannya kepada teman-teman dan keluarganya di Indonesia bahwa ia telah berpartisipasi di sini. Saya pikir merupakan suatu kehormatan baginya untuk bisa melakukan kegiatan ini,” tambahnya.
Di tengah kekhidmatan tugas seorang anggota paskibra, Lisa Sherman, ibunda Sophia, mengenang cerita jenaka sehari sebelumnya, ketika sang putri salah memahami perintah bersalaman dengan inspektur upacara pada sesi latihan pengukuhan Paskibra.
“Dia kan sering dengar kalau saya bilang ‘salim’, dia pun salim (cium tangan). Tapi pas (latihan) pengukuhan dia dengar kata ‘salam’, dia (malah) salim (ke inspektur upacara),” tuturnya sambil tertawa. Lisa akhirnya menjelaskan bahwa kata salim dan salam punya arti yang berbeda. “Kalau salam, khususnya untuk acara kenegaraan, kan kita enggak cium tangan,” lanjutnya.
Terlepas dari itu, Lisa bangga karena Sophia tetap bersemangat untuk mengenali bahasa dan budaya Indonesia sedikit demi sedikit.
“Saya Ingin Buat Ibu Bangga”
Sebelum bergabung menjadi anggota paskibra, Ashley Elizabeth Sukhram, remaja usia 17 tahun berdarah Indonesia dan Guyana, baru mendengar kegiatan pengibaran bendera dari Ibunya yang orang Indonesia. Meski pernah berpartisipasi dalam tim paskibra di Wisma Indonesia tahun lalu, kali ini ia berkesempatan menjadi salah satu anggota tim pembawa bendera. Membuat ibunya bangga adalah alasan utama yang memotivasinya menempuh latihan yang intens itu.
Bagi Ashley, latihan paskibra tidak sebatas belajar baris-berbaris dan mengibarkan bendera, tapi juga membangun solidaritas antarsesama diaspora Indonesia. Siswi kelas tiga SMA di negara bagian Maryland itu mengungkapkan, dukungan dari orang-orang di sekitar menjadi pelajaran berharga yang ia peroleh selama menjalani latihan. Ia mengatakan, “Akan selalu ada yang membantumu. Jangan takut meminta tolong karena orang-orang akan mendukung dan menyemangatimu.” Ia juga menambahkan bahwa dukungan moral dari para pelatih paskibra membantunya berkembang, karena mereka bisa meyakinkan Ashley bahwa ia bisa melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
Pada akhirnya, pengibaran bendera merah putih menjadi wujud ikatan emosional para anggota paskibra diaspora dengan tanah air mereka, meskipun secara fisik tidak hidup di sana. “Saya harap (rakyat Indonesia) dapat melihat bahwa walaupun kami di Amerika, kami tetap mendukung Indonesia, dan bahwa kami membangun keluarga dan komunitas (Indonesia) di sini,” pungkasnya. [br/rt/ab]
Forum