Heidi Cattey pertama kali takut naik pesawat terbang ketika melihat berita tentang pembajakan pesawat pada 1980an.
Sepuluh tahun kemudian, ia mengira uap di kabin pada sebuah penerbangan di Texas sebagai asap kebakaran, kemudian panik dan tidak pernah terbang lagi.
Bencana pesawat Germanwings bulan lalu, diyakini akibat aksi bunuh diri co-pilot, yang menewaskan 150 orang, tidak membantu ketakutannya.
Namun Cattey harus mengatasi ketakutan tersebut karena dalam dua bulan ia akan menjemput anak kembar berusia enam tahun yang ia adopsi bersama suaminya di Kenya.
Pemilik tempat pengasuhan anak di Mesa, Arizona, tersebut merupakan salah satu dari 30 orang yang menghadiri kelas "takut terbang" reguler Sabtu malam lalu di sebuah ruang konferensi di Bandar Udara Internasional Sky Harbor di Phoenix, Arizona.
Kegiatannya termasuk membuat pesawat kertas dan menerbangkannya untuk mempelajari sistem aerodinamika, diskusi cara kerja pesawat dan awak kabin, dan bagaimana otak memroses informasi dan merespon pada kegelisahan. Sebagian besar yang hadir mengambil kesempatan itu untuk bertanya-tanya pada tiga pilot veteran mengenai apapun yang ada dalam pikiran mereka.
Kapten Ron Nielsen, yang telah memimpin kelas-kelas seperti ini selama 27 tahun, mengatakan seringkali setengah dari orang-orang yang mendaftar kelas gratis yang berlangsung selama empat jam itu tidak datang.
"Tidak semua orang mengatasi ketakutan mereka akan terbang. Anda berpeluang baik karena Anda datang," ujarnya pada peserta.
Rasa takut terbang dapat diakibatkan beberapa faktor, termasuk ketakutan akan kerusakan mekanis tiba-tiba atau terorisme, fobia akan tempat tertutup atau ramai, atau takut ketinggian atau suara-suara aneh, dan bahkan ketakutan akan mempermalukan diri di depan orang lain.
Nielsen memperkirakan bahwa seperempat dari penumpang dalam pengalamannya sebanyak 16.000 jam terbang barangkali mengalami ketakutan terbang.
Konsep kelas Sky Harbor itu adalah untuk belajar mengatasi ketakutan, bukannya menghindari atau mendominasinya.
Usai kelas, kelompok itu menaiki pesawat yang sedang diparkir, dan mereka diperlihatkan kokpit dan duduk di kabin untuk bertanya-tanya.
Nielsen mengatakan rasa takut itu kompleks dan setiap orang memiliki proses berpikir yang berbeda-beda, sehingga harus ditemukan proses sendiri untuk mengatasinya.
Nielsen menyarankan orang-orang yang takut terbang untuk tidak melihat liputan pesawat jatuh di televisi, dan hanya membaca laporan Badan Keselamatan Transportasi Nasional yang faktual.
Tom Raasch, 45, berhasil mengatasi ketakutannya dan duduk di kelas untuk mendukung saudara perempuannya, Susan Rivera.
Ia pernah mengikuti simulasi terbang virtual seharga US$5.000 namun gagal mengatasi rasa takut terbang. Raasch kemudian bertemu Nielsen delapan tahun lalu dan mengikuti kelas lanjutan, di mana Nielsen mengajak peserta untuk terbang sebentar untuk makan siang di California.
"Kegelisahan tidak pernah betul-betul hilang. Kita hanya belajar keterampilan untuk mengendalikannya. Saya merasa gelisah semalam sebelumnya, namun kemudian saya naik saja ke pesawat," ujarnya.