Para ekonom dari Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan bahwa meningkatnya harga padi-padian menimbulkan kekhawatiran akan kenaikan harga jika India melarang ekspor beras karena musim kemarau.
Laporan terbaru dari ADB merekomendasikan kebijakan-kebijakan pertanian yang tidak menyubsidi harga-harga yang tinggi.
Laporan tersebut menyatakan bahwa panen beras di Asia Tenggara akan meningkat dari 110,5 juta metrik ton pada 2010-2011 menjadi 128,3 juta ton pada 2012-2022, didorong oleh penekanan pada varietas padi yang memberikan hasil tinggi dan tidak terlalu bergantung pada air, serta kebijakan penggunaan tanah yang lebih baik.
Namun para ekonom ADB menyerukan supaya tidak menggunakan kebijakan yang membatasi ekspor beras atau yang menaikkan harga secara artifisial, seperti program beras di Thailand yang telah menyebabkan penurunan ekspor beras 43 persen pada satu tahun terakhir.
ADB juga menyerukan koordinasi yang lebih besar antara Pakistan dan India dalam program kebijakan beras.
Ekonom ADB Lourdes Adriano, berbicara dari Manila untuk para jurnalis di Bangkok dalam diskusi lewat video, mengatakan bahwa kekhawatiran utama terkait persediaan ekspor beras adalah jika India memberlakukan larangan ekspor beras karena didorong kemarau yang panjang. Larangan serupa mendorong harga beras global naik hampir 150 persen pada 2008.
“Jika kita meenghadapi musim monsoon yang berat di India dan negara tersebut memberlakukan lagi larangan ekspor beras, kita akan menghadapi masalah besar,” ujar Adriano. “Seperti yang kita tahu, perdagangan beras global itu kecil, hanya ada beberapa eksportir besar. Eksportir besar di Asia adalah Thailand, Vietnam dan tentu saja, India.”
Negara-negara pengekspor beras di Asia Tenggara – Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos dan Burma – dikabarkan mengarah ke aliansi formal, atau kartel, yang dikritik oleh ADB.
Adriano mengatakan bahwa ASEAN harus melakukan intervensi untuk menghambat gerakan seperti, yang dapat meningkatkan harga beras global. Beberapa analis mengatakan bahwa demonstrasi politik dan di jalanan dapat terjadi karena kenaikan harga.
“ASEAN harus melakukan sesuatu. Ini bukan hanya sekedar tanggung jawab regional ASEAN, tapi juga tanggung jawab global mengingat ASEAN memainkan peranan penting dalam pasar global,” ujar ekonom tersebut.
“Jawabannya adalah, kebijakan kartel tidak akan menguntungkan bagi negara pengekspor besar atau siapa pun di dunia. Tidak ada yang menang dalam permainan ini.”
Program pembelian beras oleh pemerintah di Thailand adalah janji pemilu pada petani tahun lalu dari partai penguasa Pheu Thai Party, tempat Perdana Menteri Yingluck Shinawatra berasal. Harga pembelian beras adalah US$300 lebih mahal dari pasar dunia. Program ini menghadapi kecaman karena dugaan korupsi dan memunculkan masalah gudang serta dampak pada anggaran.
Namun Kabinet di Thailand setuju untuk memperpanjang program tersebut, dengan alokasi tambahan $13 miliar pada program tersebut, menyusul alokasi anggaran tahun lalu yang hampir mencapai $10 miliar.
Laporan ADB mengatakan bahwa prospek dalam waktu dekat untuk harga beras global “tetap stabil” karena stok cadangan yang disimpan setelah kenaikan harga tajam pada 2008.
Sementara itu, lembaga bantuan Oxfam mengingatkan awal pekan ini mengenai dampak perubahan iklim untuk harga makanan di masa yang akan datang di Asia. Laporan Oxam menyebutkan bahwa pada 2030, kekeringan di India atau banjir berkepanjangan di Asia Tenggara dapat membuat harga beras melonjak lebih dari 20 persen, membuat negara-negara pengimpor di Afrika, seperti Nigeria, terkena imbas harga pangan yang tinggi.
Laporan terbaru dari ADB merekomendasikan kebijakan-kebijakan pertanian yang tidak menyubsidi harga-harga yang tinggi.
Laporan tersebut menyatakan bahwa panen beras di Asia Tenggara akan meningkat dari 110,5 juta metrik ton pada 2010-2011 menjadi 128,3 juta ton pada 2012-2022, didorong oleh penekanan pada varietas padi yang memberikan hasil tinggi dan tidak terlalu bergantung pada air, serta kebijakan penggunaan tanah yang lebih baik.
Namun para ekonom ADB menyerukan supaya tidak menggunakan kebijakan yang membatasi ekspor beras atau yang menaikkan harga secara artifisial, seperti program beras di Thailand yang telah menyebabkan penurunan ekspor beras 43 persen pada satu tahun terakhir.
ADB juga menyerukan koordinasi yang lebih besar antara Pakistan dan India dalam program kebijakan beras.
Ekonom ADB Lourdes Adriano, berbicara dari Manila untuk para jurnalis di Bangkok dalam diskusi lewat video, mengatakan bahwa kekhawatiran utama terkait persediaan ekspor beras adalah jika India memberlakukan larangan ekspor beras karena didorong kemarau yang panjang. Larangan serupa mendorong harga beras global naik hampir 150 persen pada 2008.
“Jika kita meenghadapi musim monsoon yang berat di India dan negara tersebut memberlakukan lagi larangan ekspor beras, kita akan menghadapi masalah besar,” ujar Adriano. “Seperti yang kita tahu, perdagangan beras global itu kecil, hanya ada beberapa eksportir besar. Eksportir besar di Asia adalah Thailand, Vietnam dan tentu saja, India.”
Negara-negara pengekspor beras di Asia Tenggara – Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos dan Burma – dikabarkan mengarah ke aliansi formal, atau kartel, yang dikritik oleh ADB.
Adriano mengatakan bahwa ASEAN harus melakukan intervensi untuk menghambat gerakan seperti, yang dapat meningkatkan harga beras global. Beberapa analis mengatakan bahwa demonstrasi politik dan di jalanan dapat terjadi karena kenaikan harga.
“ASEAN harus melakukan sesuatu. Ini bukan hanya sekedar tanggung jawab regional ASEAN, tapi juga tanggung jawab global mengingat ASEAN memainkan peranan penting dalam pasar global,” ujar ekonom tersebut.
“Jawabannya adalah, kebijakan kartel tidak akan menguntungkan bagi negara pengekspor besar atau siapa pun di dunia. Tidak ada yang menang dalam permainan ini.”
Program pembelian beras oleh pemerintah di Thailand adalah janji pemilu pada petani tahun lalu dari partai penguasa Pheu Thai Party, tempat Perdana Menteri Yingluck Shinawatra berasal. Harga pembelian beras adalah US$300 lebih mahal dari pasar dunia. Program ini menghadapi kecaman karena dugaan korupsi dan memunculkan masalah gudang serta dampak pada anggaran.
Namun Kabinet di Thailand setuju untuk memperpanjang program tersebut, dengan alokasi tambahan $13 miliar pada program tersebut, menyusul alokasi anggaran tahun lalu yang hampir mencapai $10 miliar.
Laporan ADB mengatakan bahwa prospek dalam waktu dekat untuk harga beras global “tetap stabil” karena stok cadangan yang disimpan setelah kenaikan harga tajam pada 2008.
Sementara itu, lembaga bantuan Oxfam mengingatkan awal pekan ini mengenai dampak perubahan iklim untuk harga makanan di masa yang akan datang di Asia. Laporan Oxam menyebutkan bahwa pada 2030, kekeringan di India atau banjir berkepanjangan di Asia Tenggara dapat membuat harga beras melonjak lebih dari 20 persen, membuat negara-negara pengimpor di Afrika, seperti Nigeria, terkena imbas harga pangan yang tinggi.