Barbados berencana mencopot Ratu Elizabeth dari Inggris sebagai kepala negaranya dan menjadi sebuah republik. Para pengamat mengemukakan bekas koloni Inggris itu memperdebatkan langkah itu selama beberapa dekade tetapi gerakan Black Lives Matter dan kebencian atas perlakuan Inggris terhadap migran Karibia berperan sebagai katalisator. Akan tetapi seorang anggota parlemen Inggris terkemuka menyalahkan China yang menekan Barbados agar memutuskan hubungan dengan Inggris.
Ratu Elizabeth mengunjungi Barbados terakhir kali pada malam kemerdekaannya dari Inggris tahun 1966. Negara kepulauan itu mempertahankan raja atau ratu sebagai kepala negara.
Pada pembukaan sesi baru Parlemen bulan lalu, gubernur jenderal negara pulau yang mewakili pihak kerajaan namun berbicara atas saran perdana menteri dengan perkataannya sendiri menyampaikan bahwa sudah waktunya untuk "meninggalkan masa kolonial yang lalu dengan sepenuhnya.”
“Masyarakat ingin dipimpin oleh kepala negara asal Barbados sendiri. Pernyataan yang meyakinkan itu menunjukkan siapa kita dan apa yang mampu kita capai. Karenanya, Barbados akan mengambil langkah wajar dalam pencapaian kedaulatan penuh selanjutnya untuk menjadi sebuah republik ketika memperingati ulang tahun kemerdekaan ke-55,” ujar Mason.
Beberapa perubahan politik di dalam negeri tersebut mengarah kepada langkah seperti itu, kata pakar Persemakmuran Philip Murphy. “Di Barbados konsensus semakin berkembang untuk bergerak menuju sebuah republik selama sekitar 20 tahun. Pertanyaannya adalah apakah partai yang berkuasa punya mandat konstitusional untuk mewujudkannya. Partai Buruh Barbados sekarang ini memilikinya.”
Masa kolonial Inggris di masa lalu menjadi sorotan dengan bangkitnya gerakan Black Lives Matter, kata mantan Komisaris Tinggi Barbados untuk Inggris Guy Hewitt – yang kini menjadi pendeta di Florida, Amerika Serikat. “Tinjauan kembali hubungan kita dengan Inggris sebagai bekas kekuatan kolonial dan juga dengan keluarga kerajaan, terkait dengan bagaimana posisi mereka dalam masalah ini."
Hewitt juga mengutip skandal yang dikenal ‘Windrush’ sebagai titik balik. Setelah Perang Dunia Kedua, ribuan migran berdatangan ke Inggris dari bekas koloni di Karibia. Pada 2018 terungkap bahwa ratusan orang ditahan secara ilegal dan tidak memperoleh hak-hak dasar mereka. Puluhan migran dipulangkan kembali ke Karibia meski memenuhi syarat sebagai warga negara Inggris.
“Kami menyadari 'mother country', demikian julukan Inggrisnya, tidak tertarik pada kesejahteraan dan kehidupan orang-orang dari Karibia yang mengadu nasib, melakukan perjalanan dari Barbados, dan turut membangun Inggris setelah masa Perang Dunia Kedua,” tambah Hewitt.
Pihak Kerajaan Inggris menyatakan masa depan kepemimpian seorang kepala negara tersebut tergantung pada rakyat Barbados sendiri.
Tom Tugendhat, ketua Komite Pemilihan Urusan Luar Negeri Parlemen Inggris, menyalahkan tekanan China atas Barbados untuk mencopot Ratu Inggris sebagai kepala negara.
Beijing banyak melakukan investasi di Karibia dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi banyak pakar mempertanyakan pernyataan Tom tersebut. [mg/jm]