Isu mahar politik kembali menjadi sorotan menjelang pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar Juni ini. Sejumlah orang yang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah mengaku dimintai uang oleh partai politik sebagai syarat untuk mendapatkan dukungan partai. Selain pengakuan bakal calon Gubernur Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti yang dimintai uang Rp 40 milliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto; bakal calon walikota Cirebon Siswandi juga mengaku dimintai dana milliaran rupiah oleh Partai Keadilan Sejahtera. Siswandi menolak memberikannya sehingga PKS batal mendukungnya.
Di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, bakal calon wakil bupati Budi Heriyanto Dalimunthe mengaku diminta Partai Golkar menyetorkan mahar sebesar Rp 3 milliar. Hal yang sama juga terjadi pada pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palangka Raya, Jhon Krisli dan Maryono yang mengungkapkan bahwa mereka dimintai ratusan juta rupiah untuk setiap kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dimiliki partai politik.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berjanji akan menindaklanjuti laporan tentang dugaan permintaan mahar politik yang dilakukan partai politik. Ketua Bawaslu, Abhan mengatakan lembaganya akan segera memanggil semua pihak yang diduga terlibat dan mengklarifikasi hal ini.
Bawaslu sudah mulai menelusuri dugaan mahar pencalonan disejumlah daerah tersebut. Apabila dalam penelusuran itu tambahnya lembaganya menemukan bukti pelanggaran, sanksinya bisa pidana.
"Mekanisme kami bukan hanya klarifikasi, kami juga punya kewenangan untuk melakukan investigasi dan segala macam. Tentu kewenangan itu yang akan kami lakukan. Pijakan kami adalah hukum, maka aturan hukum yang kami pegang," kata Abhan.
Ketua Bidang Politik DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria membantah adanya permintaan mahar politik yang dilakukan partainya.
"Tidak pernah menjadikan faktor uang menjadi faktor utama.Justru di partai Gerindra berbeda dengan partai-partai lain. Partai Gerindra menyikapi pilkada dalam rangka membangun kepentingan bangsa, kepentingan negara dan kebersamaan," tegas Riza.
Sementara Ketua DPP PKS, Ledia Hanifa menilai lumrah apabila partai dan pasangan calon peserta pilkada harus menanggung bersama biaya pemenangan pemilihan.
Dalam diskusi di kantornya, peneliti di Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjahfrina menjelaskan mahar politik dalam pemilihan kepala daerah selalu berkaitan dengan korupsi dilakukan para kepala daerah. ICW mencatat dalam delapan tahun terakhir sedikitnya ada 215 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi, baik yang ditangani kejaksaan, kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Almas menambahkan, mahar politik pada pemilihan kepala daerah tahun ini disebut-sebut jauh lebih tinggi angkanya ketimbang mahar politik pada pemilihan kepala daerah periode-periode sebelumnya. Karena itu ia khawatir jumlah kepala daerah yang terbelit perkara rasuah setelah pemilihan kepala daerah 2018 akan semakin banyak.
"Kalau dulu modal politik yang dikeluarkan tidak sebesar sekarang saja korupsi kepala daerah sangat masif, apalagi ketika proses pilkadanya semakin mahal dikarenakan ada mahar politik yang sampai ratusan miliar, kami khawatir dana-dana negara, APBN, APBD, semakin rawan untuk dikorupsi oleh kepala daerah," ujar Almas.
Selain itu, lanjut Almas, ICW juga khawatir pemilihan kepala daerah serentak tahun ini akan dimanfaatkan oleh partai politik atau elite-elite partai poltik untuk menghimpun dana guna membiaayai pemilihan legislatif dan presiden pada 2019. Menurutnya kecemasan itu wajar karena pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada Juni ini memiliki beda waktu sempit dengan tahap awal dalam pemilihan legislatif dan presiden yang dimulai dua bulan kemudian.
Sejak pemilihan kepala daerah serentak pada 2015, mahar politik dilarang dan pelakunya bisa dikenai sanksi. Larangan mengenai pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan antara partai politik dan bakal kandidat tercantum dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah serta Undang-undang nomor tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Lebih lanjut Almas mengatakan bila terbukti dengan keputusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap ada mahar, penetapan sebagai pasangan calon dibatalkan. Partai politik bersangkutan bahkan terancam tidak bisa mengikuti pemilihan kepala daerah periode selanjutnya.
Di tempat yang sama, Fadli Ramadhani, peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun ini beberapa elite partai mengakui memang ada pemberian uang dalam proses pencalonan itu, dengan alasan untuk biaya operasional partai dan buat mendanai saksi serta kampanye pemenangan pasangan calon.
"Ini informasi penting menurut saya. Karena secara sadar elite partai politik mulai mengakui ada penerimaan uang terkait dengan proses pencalonan. Secara sadar juga kemudian, ini bisa menjadi pintu masuk untuk kemudian melakukan penegakan hukum terhadap larangan penerimaan imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan pilkada," tukas Fadli.
Menurut Fadli, kalau uang mahar diasosiasikan sebagai biaya saksi, biaya kampanye, dan biaya pemenangan, tentu harus dilaporkan. Tetapi ia ragu para kandidat dan partai pendukungnya akan bersikap transparan dan mengumumkan laporan dana kampanye secara terbuka.
Berdasarkan pasal 187 UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu disebutkan anggota partai politik, atau anggota gabungan partai politik yang menerima imbalan dalam bentuk apapun terkait pencalonan, ancaman sanksi pidananya enam tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Umumnya semakin strategis daerah yang diperebutkan, nilai mahar akan semakin besar. Dan semakin rendah elektabilitas calon, semakin mahal pula nilai mahar yang mesti dibayar. [fw/em]