Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto, mengatakan pada Selasa (16/11) sekitar pukul 08.00 WIB, anak gajah Sumatra yang sedang dalam perawatan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, karena terluka parah pada bagian belalainya akibat terkena jerat akhirnya mati.
"Dia (gajah) tidak bisa bertahan. Petugas medis sudah berupaya maksimal untuk mengobati luka yang terdapat pada belalai gajah tersebut," katanya kepada VOA, Selasa (16/11).
Agus menjelaskan, bayi gajah Sumatra berjenis kelamin betina berusia sekitar satu tahun itu sebelumnya diselamatkan pada hari Minggu (14/11) sekitar pukul 14.00 WIB, dari wilayah Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya. Usai diselamatkan gajah itu langsung mendapatkan penanganan medis karena luka serius akibat terkena jerat pada bagian tengah belalainya.
"Gajah tersebut berdasarkan informasi masyarakat terlihat terpisah dari rombongan dalam kondisi terluka. Jadi dia tidak terjerat di situ. Ketika didapati gajah itu sudah terluka akibat jerat yang tersisa menempel di belalainya," ungkapnya.
Berdasarkan pertimbangan tim medis bahwa anak gajah liar itu perlu mendapatkan perawatan lebih lanjut, ia dievakuasi ke PLG Saree, Aceh Besar. Setelah dua hari dirawat bayi gajah liar tersebut tidak dapat bertahan. Menurut hasil nekropsi yang dilakukan oleh tim medis diketahui bahwa bayi gajah itu mengalami infeksi sekunder akibat luka yang terbuka.
"Pertimbangan tim medis bahwa ini tidak bisa dilepasliarkan langsung ke alam liar karena kondisi belalainya (terluka), karena juga terlihat bahwa gajah kondisinya kurus. Artinya, proses pencarian makannya tidak optimal. Fungsi belalai yang merupakan alat vital gajah untuk makan sudah tidak berfungsi karena terkena jerat dan sudah membusuk," ujar Agus.
BKSDA Aceh mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam khususnya gajah Sumatra dengan cara tidak merusak hutan yang merupakan habitat berbagai jenis satwa, serta tidak menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati.
Masyarakat juga diminta untuk tidak memasang jerat maupun racun yang dapat menyebabkan kematian satwa liar dilindungi yang dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
WALHI Desak Pengusutan Tuntas
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kematian gajah betina itu. Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Muhammad Nur, menilai pemerintah Aceh terlihat tidak serius dalam melakukan perlindungan terhadap satwa kunci. Hampir setiap tahun ada kematian gajah yang kena terjerat kawat yang dipasang maupun diracun.
Sedangkan, Pemerintah Aceh Jaya di tahun 2019 lalu mendapatkan kuota replanting (penanaman kembali) sawit seluas 1.425 hektare yang tersebar di berbagai titik. Luas kawasan peremajaan sawit itu diduga sudah mengganggu jalur lintas gajah.
"Akibat kegiatan perluasan peremajaan sawit di Aceh Jaya maupun di kabupaten lain membuktikan pemerintah pusat hingga daerah tidak memedulikan koridor gajah. Harusnya tidak diganggu atas nama bisnis atau ekonomi sektor sumber daya alam," kata Nur melalui keterangan resminya.
Atas hal tersebut, Dinas Perkebunan Aceh diminta untuk menghentikan sementara waktu kegiatan peremajaan sawit sampai adanya penjelasan lebih rinci terkait kawasan yang boleh digunakan untuk penanaman kembali hingga tidak lagi menganggu habitat gajah dan spesies kunci lainnya di Aceh.
"Kami juga meminta kepada BKSDA Aceh untuk mengusut tuntas kasus matinya anak gajah yang terjerat di lokasi peremajaan sawit. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab jeratan gajah ini hampir setiap tahun ditemukan akan tetapi tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Ketika melihat angka kematian gajah meningkat setiap tahun menunjukkan bahwa BKSDA tidak serius memberikan perlindungan terhadap satwa yang hampir punah itu," pungkas Nur.
Satwa Liar Dilindungi
Gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu jenis satwa liar dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi.
Berdasarkan daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) satwa yang hanya ditemukan di Pulau Sumatra ini berstatus Critically Endangered atau spesies yang terancam kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar. (aa/em)