Tidak hanya harus menangani korban gempa, tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanggulangan dampak gempa Sulawesi Barat juga harus mewaspadai Covid-19. Kasus Covid sudah menjadi beban sebelum gempa, dan bencana ini memperbesar peluang penularan, terutama di kawasan pengungsian.
Salah satu relawan dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dr Joko Mardiyanto Sp A memaparkan, ancaman dan kerentanan bencana kali ini berlipat. Karena itu, secara teori, resiko bencananya menjadi lebih besar, sebab di sisi lain kapasitas penanganannya justru turun.
“Ancaman bencana gempa bumi itupun tidak mudah, apalagi dengan Covid-19 ini. Kemarin di rapat koordinasi klaster kesehatan, disitu dihadirkan kepala dinas yang menyampaikan bahwa sebelum gempa saja, gugus tugas penanggulangan Covid-19 di Sulawesi Barat itu tidak efektif berjalan. Apalagi di masa gempa ini,” tandas Joko.
Joko berbagi cerita itu dalam perbincangan bersama Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (20/1). Joko sendiri sudah beberapa hari berada di Sulawesi Barat, untuk membantu penanganan sektor kesehatan. Dokter di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini memiliki pengalaman dalam bencana gempa Bantul, banjir Jakarta, gempa Padang dan Palu, bahkan sempat menjadi relawan di Jalur Gaza.
Meski memiliki banyak pengalaman bencana, Joko menegaskan apa yang terjadi saat ini sangat berbeda karena faktor pandemi. Penanganan kebencanaan menjadi sangat tidak mudah. Dia memberi contoh, di sebuah tenda setinggi sekitar dua meter, dengan luas sepuluh kali dua puluh meter, harus dihuni oleh 15 kepala keluarga. Dengan kepadatan semacam itu, resiko penularan Covid 19 jika menggunakan standar perhitungan organisasi kesehatan dunia WHO, tentu akan sangat besar.
“Di tenda itu, kalau sesuai dengan definisi revisi 5 penanganan Covid 19, itu sudah tidak kontak erat lagi, tapi kontak sangat-sangat erat. Ini, kan harus hati-hati betul,” kata Joko.
Dari laporan yang ada, Joko menambahkan, masih ada sejumlah titik-titik dimana korban berada yang belum mampu dijangkau relawan kesehatan. Lokasi itu, kata dia, bisa didatangi dengan berjalan kaki selama delapan jam. Melihat kasusnya yang lebih komplek, Joko berharap kerja sama seluruh pihak lebih baik dalam bencana kali ini.
Terkait langkah yang sudah diambil, kata Joko, sejauh ini klaster kesehatan telah sepakat membagi peran rumah sakit. Ada satu rumah sakit regional yang hanya dikhususkan untuk kasus Covid-19. Sementara rumah sakit lain digunakan untuk melayani korban gempa. Karena dalam penataan rumah sakit sudah berjalan, Joko melihat tantangannya saat ini ada di tingkat komunitas.
“Oleh karena itu, tim yang dihadirkan nanti seterusnya lebih fokus pada komunitas. Bisa dokter umum, bidan, ahli kesehatan lingkungan, ahli gizi, bahkan bisa epidemiolog lapangan,” kata Joko memberi masukan bagi FKKMK UGM.
Joko juga menekankan, relawan yang akan datang ke Sulawesi Barat harus terpilih, artinya sehat mental dan fisik. Karena ancaman Covid-19, relawan harus benar-benar sehat, dan disiplin mengatur waktu agar memiliki istirahat cukup.
Relawan FKKMK UGM yang sudah bertugas di Sulawesi Barat, Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid juga melaporkan beban luar biasa sektor kesehatan dalam bencana kali ini.
“Kemarin saya sempat berkeliling juga ke Puskesmas-Puskesmas terdampak, terutama yang di Mamuju. Memang bencana kali ini sungguh sangat berbeda sekali, karena kita selain meresponnya juga harus mematuhi protokol kesehatan,” kata Gde.
Di bencana sebelumnya, pengungsian biasanya dikoordinir untuk mempermudah penanganan. Kali ini, kata Gde pengungsian tersebar dalam begitu banyak titik. Tersebarnya korban gempa semacam ini sangat menyulitkan tenaga kesehatan dari Puskesmas yang harus terus berkeliling. Gde menceritakan, banyak pengungsian diisi oleh satu keluarga besar yang telah memahami satu sama lain, bahwa mereka aman dari resiko Covid-19. Penolakan sering dilakukan jika ada korban lain yang diketahui memiliki mobilitas tinggi sebelumnya.
“Kita agak kesulitan dalam membantu tenaga Puskesmas untuk melakukan skrining ke populasi terdampak. Itulah kenapa, kita membutuhkan lebih banyak lagi tim-tim EMP mobile tipe satu untuk di lapangan,” kata Gde.
EMP yang disebut Gde adalah emergency medical team. Secara global, EMT dikelompokkan dalam 4 tipe, yaitu EMT tipe 1 (outpatient emergency care), EMT tipe 2 (inpatient surgical emergency care), EMT tipe 3 (inpatient referral care) dan additional specialized care team. Sedangkan istilah mobile yang disebut Gde bermakna, tim ini harus mencari, menemukan dan melayani korban, karena mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan. Mobile team bekerja di luar fasilitas kesehatan.
“Tim EMP tidak datang ke pos pengungsian besar, kemudian ada banyak pasien. Tetapi harus menyisir, ini akan membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit,” lanjut Gde.
Khusus di Sulawesi Barat ini, kata Gde, tim kesehatan juga membuat sub klaster khusus, yaitu sub klaster ambulans. Petugas ambulans akan melakukan skrining awal bagi pasien korban gempa, sebelum diantar menuju layanan kesehatan yang sesuai. Langkah ini sangat penting untuk memisahkan pasien terindikasi Covid-19 dan tidak, sehingga mereka bisa menerima layanan yang sesuai. [ns/ab]