Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Beijing Merisak Tetangganya di Laut China Selatan, Tapi Menuduh AS 'Masuk Tanpa Izin'


Kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke USS Benfold (DDG 65), yang dikerahkan ke wilayah operasi Armada ke-7AS, melakukan operasi yang sedang berlangsung di Laut China Selatan, dalam foto yang dirilis pada 13 Juli 2022. (Angkatan Laut AS/ Handout via REUTERS)
Kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke USS Benfold (DDG 65), yang dikerahkan ke wilayah operasi Armada ke-7AS, melakukan operasi yang sedang berlangsung di Laut China Selatan, dalam foto yang dirilis pada 13 Juli 2022. (Angkatan Laut AS/ Handout via REUTERS)
Zhao Lijian

Zhao Lijian

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China

"Ini provokasi dengan tujuan ‘kebebasan masuk tanpa izin’ dan merupakan sabotase yang disengaja terhadap perdamaian dan stabilitas regional.”

Salah

Pada 28 Agustus, Armada ke-7 Angkatan Laut AS berlayar melalui perairan internasional di lepas pantai China daratan untuk menunjukkan “komitmen terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.”

Keesokan harinya, Reuters bertanya pada juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian tentang kapal AS yang berlabuh di dekat Taiwan, di mana ketegangan meningkat setelah kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi yang kontroversial pada 2 Agustus lalu.

Zhao mengutip Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat China yang mengatakan “pergerakan dua kapal perang AS terkendali” oleh militer China.

“Kapal perang AS sering menunjukkan kekuatan atas nama kebebasan pelayaran,” kata Zhao.

“Ini bukan tentang menjaga kawasan ini bebas dan terbuka. Ini provokasi dengan tujuan ‘kebebasan masuk tanpa izin’ dan merupakan sabotase yang disengaja terhadap perdamaian dan stabilitas regional.”

Tuduhan ‘masuk tanpa izin’ Zhao salah.

Meskipun China menyalahkan AS karena menyabotase “perdamaian dan keamanan regional,” data menunjukkan Beijing lah yang terus-menerus mengancam tetangganya melalui klaim kedaulaitan laut, selain tindakan agresif lainnya.

(FILE) Foto dari Kantor Berita China Xinhua menunjukkan anggota Tentara Pembebasan Rakyat memandang ke laut dengan teropong saat latihan militer. Kapal perang Taiwan Lan Yang tampak di laut, 5 Agustus 2022. (Lin Jian/Xinhua via AP)
(FILE) Foto dari Kantor Berita China Xinhua menunjukkan anggota Tentara Pembebasan Rakyat memandang ke laut dengan teropong saat latihan militer. Kapal perang Taiwan Lan Yang tampak di laut, 5 Agustus 2022. (Lin Jian/Xinhua via AP)

Armada ke-7 AL AS mengatakan kebebasan operasi navigasi dilakukan “sesuai dengan hukum internasional,” dan mengatakan kapal-kapal itu “singgah melalui koridor di Selat di luar laut territorial negara pesisir manapun.”

Armada ke-7 AL AS juga menambahkan AL AS akan terus beroperasi “di manapun yang diizinkan oleh hukum internasional.”

Kebebasan operasi navigasi ini tidak muncul begitu saja.

China mencoba mengontrol kapal apa yang bisa beroperasi di mana di kawasan itu, memaksakan apa yang disebut “sembilan garis putus-putus,” batas sewenang-wenang yang diklaim Beijing memberikan negara itu hak untuk mengendalikan sebagian besar Laut China Selatan.

Tapi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dengan jelas menguraikan wilayah perairan teritorial negara pesisir (seperti China) dan negara kepulauan atau negara pulau (seperti Indonesia dan Filipina).

Perairan teritorial China membentang sepanjang 12 mil laut dari batas air surut.

Selain itu, Pasal 19 UNCLOS, terkait pelayaran damai, mengizinkan kapal asing, termasuk kapal militer, untuk melalui perairan teritorial negara lain sepanjang pelayaran itu “tidak merugikan perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pesisir.”

Negara pesisir tidak boleh mengklaim perairan teritorial sekitar fitur terendam dan elevasi surut (yaitu wilayah daratan yang terbentuk secara alami yang terendam saat air pasang) yang berada di luar perairan teritorial mereka.

Namun China justru melakukan hal itu pada 2009, dengan tegas mengklaim bahwa mereka memiliki “kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya, dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan yang relevan serta dasar laut dan tanah di bawahnya.”

Pada 2016, setelah digugat oleh Filipina, Pengadilan Arbitrase di Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag menolak klaim China.

China tidak menggubris keputusan tersebut dan semakin mengintensifkan upaya untuk menguasai sebagian besar Laut China Selatan, dan merisak negara-negara tetangga yang berupaya menegaskan hak mereka.

Mengenai “masuk tanpa izin,” China berulang kali meluncurkan serangan ke tetangganya dengan mengklaim teritori yang termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil negara itu.

Beberapa negara, seperti Malaysia, telah mencoba melakukan “diplomasi diam-diam” atas klaim China, meskipun penerbangan 16 pesawat tempur China di atas Sarawak, negara bagian Malaysia di pulau Kalimantan, pada Juni 2021 memicu protes.

Indonesia juga menghadapi agresi China di kawasan yang disebut Laut Natuna Utara, yang berada di ZEE Indonesia di bagian selatan Laut China Selatan.

Beni Sukadis, seorang analis kemanan nasional di Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, mengatakan angkatan laut Malaysia dan Indonesia menanggapi serangan oleh kapal Penjaga Pantai China dengan “membayangi” mereka “daripada mengonfrontasi mereka dan memaksa mereka untuk pergi.”

Praktik itu, ujarnya, mencerminkan perhitungan risiko mereka “terkait agresi China.”

Indonesia mencoba untuk tidak membuat China marah dan secara resmi menjadi negara yang tidak mengklaim Laut China Selatan.

Tapi awal bulan Agustus, lebih dari 5.000 prajurit dari AS, Indonesia, Australia, Jepang dan Singapura ikut dalam latihan tempur bersama di pulau Sumatra, Indonesia.

Di tempat lain di kawasan itu, China berulang kali menenggelamkan kapal nelayan Vietnam dekat Kepulauan Paracel, dan dilaporkan menggunakan ancaman kekerasan untuk menghentikan proyek pengeboran Vietnam yang berada dalam sembilan garis putus-putus.

Filipina telah mengajukan lebih dari 300 protes diplomatik terhadap tindakan Beijing di Laut China Selatan.

Demonstran meneriakkan slogan anti-China
Demonstran meneriakkan slogan anti-China

Pada November 2021, Penjaga Pantai China memblokir dan menggunakan meriam air terhadap kapal-kapal pemasok Filipina yang menuju ke Beting Thomas (Ayungin) Kedua, terumbu karang yang tenggelam di Kepulauan Spratly yang diperebutkan yang berada dalam ZEE Filipina.

Pada 9 Juni, Filipina “memprotes kembalinya lebih dari 100 kapal China yang beroperasi secara ilegal di perairan di dalam dan sekitar Karang Julian Felipe (Whitsun),” yang juga termasuk dalam ZEE negara tersebut.

Insiden itu terjadi kurang lebih satu tahun setelah lebih dari 200 kapal China “mengerubungi” wilayah itu, memicu ketegangan.

Meskipun Filipina juga berusaha menghindari perang dengan China di Laut China Selatan, awal tahun ini Amerika Serikat dan Filipina melakukan latihan militer bersama terbesar di tengah ketegangan China-Taiwan.

Pada bulan Maret, seorang komandan tinggi Angkatan Laut AS mengatakan China telah memiliterisasi setidaknya tiga pulau di Laut China Selatan, melengkapi pulau tersebut dengan “sistem rudal anti-kapal dan anti-pesawat, peralatan laser dan pengacau signal, dan jet tempur,” seperti yang dilaporkan Associated Press.

Hal itu merupakan “pembangunan militer China terbesar sejak Perang Dunia II,” kata komandan tersebut.

The Asia Maritime Transparency Initiative mengatakan China telah mendirikan 20 pos terdepan di kelompok pulau di wilayah tersebut. Inisiatif ini merupakan proyek dari Center for Strategic and International Studies, sebuah wadah think tank di Washington, D.C..

XS
SM
MD
LG