Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi tanah air bisa melompat ke level 7 persen pada kuartal-II, dari minus 0,74 persen pada kuartal I. Jokowi mengakui bahwa target tersebut dirasa cukup sulit, salah satunya dikarenakan serapan belanja pemerintah yang masih sangat rendah. Ia menjelaskan, sampai detik ini realisasi belanja pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru 15 persen, sementara di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru 7 persen.
Selain itu, serapan belanja dalam anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga masih rendah yakni 24,6 persen. Kecepatan dalam pengadaan barang dan jasa pun dinilai Jokowi juga masih lambat. Tercatat pada kuartal-I realisasi pengadaan barang dan jasa dari Kementerian/Lembaga baru mencapai sekitar 10,98 persen.
“Karena target pertumbuhan kuartal kedua kita bukan barang yang mudah. Bayangkan dari minus 0,74 melompat ke 7 persen. Tapi saya meyakini Insya Allah kalau semua bekerja keras, belanja segera dikeluarkan realisasinya, angka itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diraih karena target year on year (yoy) untuk growth pertumbuhan ekonomi kita adalah 4,5-5,5 persen,” ungkap Jokowi dalam acara pembukaan Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah tahun 2021, di Istana Kepresidenan, Bogor (27/5).
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan bila pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II nanti tidak mencapai tujuh persen, maka target pertumbuhan ekonomi Tanah Air tahun 2021 sebesar lima persen kemungkinan tidak akan tercapai, apalagi perekonomian global masih dipenuhi ketidakpastian akibat pandemi COVID-19.
Untuk memastikan penyerapan belanja pemerintah yang optimal, Jokowi menginstruksikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk mencari tahu penyebab lambatnya serapan belanja pemerintah tersebut, dan mengharapkan adanya solusi untuk memperbaiki permasalahan ini.
“Karena itu saya minta BPKP dan seluruh aparat pengawas intern pemerintah melihat betul, mencari penyebab lambatnya realisasi belanja anggaran. Ini ada apa? Memberikan solusi, menawarkan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, ini tugas dalam mengawal belanja tadi lalu mengawal agar kementerian lembaga dan pemda bisa merealisasikan belanjanya dengan cepat dan akuntabel,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jokowi juga menginstruksikan jajarannya untuk memperbaiki kualitas perencanaan program pembangunan. Ia masih melihat beberapa daerah yang rencana program pembangunannya dinilai tidak cukup bermanfaat bagi masyarakat. Alhasil anggaran terbuang percuma, dan menambah kesenjangan arah pembangunan yang cukup lebar antara pemerintah pusat dan daerah.
“Saya melihat, saya ini di lapangan terus. Ada waduk, tidak ada irigasinya, irigasi premier, sekunder, tersier, ada itu. Ada bangun pelabuhan baru tapi tidak ada akses jalan ke situ, apa-apaan? Bagaimana pelabuhan itu bisa digunakan? ada dan tidak hanya satu. Ini yang harus terus dikawal, ini menyebabkan tidak optimal daya ungkit program dan masyarakat juga dirugikan karena tidak mendapat maafaat dari program itu,” paparnya.
Menurutnya, seringkali pemerintah mengulang perencanaan program pembangunan yang tidak singkron dengan kebutuhan masyarakat dan tidak cukup adaptif. Padahal berbagai situasi dan kondisi dunia cepat sekali berubah.
“Dalam tiga tahun ini apalagi adanya pandemi ini, disrupsi, arus gelombang perubahan itu betul-betul nyata dan bergerak sangat cepat sekali sehingga semua harus cepat beradaptasi dengan arus gelombang perubahan itu,” katanya.
Jokowi juga menyoroti akurasi data yang masih menjadi persoalan krusial sampai saat ini. Ia mencontohkan, ketidakakuratan data tersebut menyebabkan dana bantuan sosial (bansos) dalam penanganan pandemi COVID-19 penyalurannya lambat dan tidak tepat sasaran. Lagi-lagi, ia meminta BPKP untuk membantu meningkatkan kualitas data yang dikelola oleh pemerintah.
“Saya tekankan kepada bapak, ibu menteri, kepala lembaga, daerah untuk menindakalanjuti dengan serius rekomendasi dari BPKP dan Asosiasi Pengawasan Intern Pemerintahan (APIP). Jangan dibiarkan berlarut-larut, membesar dan dan akhirnya bisa menjadi masalah hukum,” ujarnya.
Tantangan Pemulihan Ekonomi Semakin Berat
Ekonom INDEF Bhima Yudistira mengatakan, target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 7persen pada kuartal-II akan sulit ditembus. Pasalnya, kata Bhima, belanja pemerintah yang merupakan komponen penting dalam pemulihan perekonomian belum menunjukkan performa yang memuaskan. Hal ini, katanya ditambah dengan kebiasaan dari pemerintah daerah yang masih lambat dalam menyerap anggaran, dan cenderung disalurkan sebagian besar pada akhir tahun.
“Ada Rp182 triliun dana pemda yang mengendap di perbankan. Padahal selama larangan mudik, pemulihan ekonomi cenderung timpang antara kota besar dan desa. Jabodetabek diuntungkan dengan pembayaran THR penuh karyawan swasta, tapi uang dibelanjakan di retail yang ada di Jabodetabek," ungkap Bhima dalam pesan singkatnya kepada VOA.
"Padahal biasanya uang banyak mengalir ke daerah dalam bentuk belanja selama perjalanan mudik, akomodasi dan sektor makanan minuman. Oleh karena itu peran percepatan serapan anggaran menjadi penting. Jangan ditumpuk di akhir tahun karena situasi sekarang masih butuh stimulus pasca lebaran,” lanjutnya.
Lebih lanjut Bhima menyarankan pemerintah untuk memfokuskan usahanya dalam mempertahankan konsumsi masyarakat, dan mengoptimalisasi ekspor sehingga membangkitkan geliat usaha di daerah, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menurutnya, peran UMKM dalam masa pandemi ini cukup penting untuk menjamin serapan angkatan kerja terbuka, mengingat sektor kerja formal belum cukup merata pemulihannya.
Bhima juga menyoroti program vaksinasi gotong royong yang menurutnya tidak akan berdampak signifikan dalam mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity, apalagi realisasi vaksinasi gratis dalam program pemerintah tercatat masih rendah.
“Bahkan vaksin gotong royong malah menciptakan ketimpangan antar pelaku usaha. Harga vaksin yang mencapai Rp1 juta hanya bisa dijangkau usaha sedang dan besar sementara UMKM yang jumlahnya 60 juta unit kesulitan beli vaksin gotong royong. Bagi UMKM bisa bertahan tanpa PHK karyawan saat ini saja sudah sangat bagus. Masalah vaksin juga timbulkan pertanyaan mendasar, kalau 10 juta orang di vaksin gotong royong tapi konsumen masih tunggu vaksin gratis dari pemerintah, apakah langsung efektif dorong tingkat belanja?" jelasnya.
Ia memperkirakan jika tumbuh positif, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-II nanti akan berkisar 2-4 persen. Namun, menurutnya capaian tersebut sudah cukup baik karena menandakan Indonesia sudah keluar dari kondisi resesi.
“Saran untuk pemerintah selain percepat serapan anggaran, berikan sanksi berat ke pemda yang tahan dana di bank, kemudian menambah alokasi untuk perlindungan sosial seperti perluasan subsidi upah ke pekerja sektor informal (pekerja UMKM). Untuk penanganan COVID-19 tetap penting sebab kunci kepercayaan konsumen adalah penurunan kasus harian disertai dengan pulihnya mobilitas penduduk,” pungkasnya. [gi/ab]