Ada fakta cukup menarik dalam peluncuran dan bedah buku “Relawan Kesehatan di Medan Bencana” di Yogyakarta, Selasa (2/10). Kenyataan yang sering diabaikan selama ini adalah bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak sedang dalam keadaan perang, tetapi selalu memiliki rakyat yang mengungsi.
Bencana adalah penyebab kondisi itu. Terutama sejak 2004, Indonesia praktis tidak pernah berhenti mengalami bencana alam besar. Sebuah tim dari Fakultas Kedokteran UGM dan RS Sardjito Yogyakarta, membuat catatan perjalanan penanganan bencana di sektor kesehatan. Catatan itu memuat apa yang terjadi, dikerjakan dan dipelajari sejak tsunami Aceh 2004 hingga tsunami Selat Sunda 2018. Menurut Hendro Wartatmo, salah satu dokter dalam tim ini, Indonesia belajar cepat dan menjadi mandiri terutama di sektor kesehatan, dalam 15 tahun terakhir.
“Kita lebih mandiri. Jadi, sampai tahun 2004 -2006 itu yang menyolok adalah membanjirnya tim asing. Tim yang efektivitasnya perlu dilihat. Tim asing datang, kita tidak pernah mengecek apakah dia bisa menjahit luka atau tidak. Dan saya punya pengalaman juga, bahwa mereka ternyata juga tidak selalu lebih baik dari kita. Yang saya lihat, tim asing sudah tidak ada sejak 2015,” ujar Hendro.
Tim asing saat ini lebih banyak diperlukan untuk bantuan-bantuan teknis pembangunan, itupun sudah sangat berkurang. Indonesia, kata Hendro, berhasil meningkatkan kemampuan penanganan bencana dengan sangat baik. Dalam sebuah paparan di Brisbane, Australia, Hendro berkisah, muncul pertanyaan mengapa Indonesia tidak lagi menerima tim medis asing. Dia dengan tegas berani menjawab, bahwa Indonesia mampu mengatasi semua sendiri.
Koordinasi Menjadi Masalah Utama
Departemen kesehatan saat ini sedang menyusun program sertifikasi tim medis lapangan. Dengan sertifikasi, setiap tim medis yang masuk daerah bencana, harus menunjukkan kemampuannya. Tanpa sertifikat kemampuan itu, tenaga medis tidak akan memperoleh fasilitas.
Namun, kata Hendro, bukan berarti Indonesia tidak lagi mengalami masalah.
“The most problem of disaster response is not lack of any single resources, but control and coordination. Jadi kita kurangnya ada di koordinasi. Tetapi ini terjadi di manapun, juga di luar negeri. Dalam bencana Badai Katrina, gempa Haiti, masalah koordinasi tetap ada. Itu karena masalah juga berkembang,” tambah Hendro.
Berkaca dari pengalaman Yogyakarta, Danang Syamsurizal dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) DIY mengaku, belajar dari bencana adalah proses yang tidak pernah berhenti. Daerah ini mengalami dua bencana besar yaitu gempa bumi pada 2006 dan letusan dahsyat Merapi pada 2010. Sebelum 2006, Yogyakarta bahwa tidak memahami bencana gempa bumi.
Terkait koordinasi dan kerja sama, Danang menguraikan lima unsur dalam penanggulangan bencana, yaitu pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi dan media. Secara nasional, Yogyakarta sebagai kota pendidikan memberi sumbangan besar dalam upaya ini, karena peran akademisi.
“Akademi banyak berada di Yogya, sehingga banyak pemikiran, banyak kajian-kajian, banyak pengalaman-pengalaman empirik. Dan itu ketika diterapkan sangat membantu penanganan kejadian bencana di berbagai tempat, seperti kekeringan, kebakaran hutan, gempa, tsunami. Di sini banyak perguruan tinggi, karena itu membuat penanganannya menjadi lebih cepat, efektif dan efisien didukung dengan pendekatan saintifik yang tepat,” kata Danang.
Yogyakarta juga merupakan sumber tenaga relawan yang jumlahnya melimpah. Daerah ini memiliki relawan dengan keahlian sangat dasar hingga yang sangat berpengalaman, dan siap dikirim ke berbagai lokasi bencana.
Pembelajaran Tanpa Henti
Danang mengisahkan, sebelum 2006, Yogyakarta tidak memahami gempa bumi dan risiko yang mengikutinya. Setelah bencana itu, masyarakat belajar dan regulasi baru disusun sebagai langkah mengurangi risiko bencana. Namun, kini disadari bahwa ke depan jika terjadi gempa lagi, tantangannya sudah sangat berbeda.
Begitu pula dalam bencana Gunung Merapi. Pada 2006, Merapi mengalami fase letusan. Empat tahun kemudian, fase itu kembali dengan lebih dahsyat. Penanganan pada 2010 banyak didasarkan pada pengalaman 2006, dan ternyata tidak sepenuhnya tepat. Bencana letusan 2010 berdampak lebih besar dengan kompleksitas masalah yang lebih rumit. Inilah yang disebut Danang, bahwa belajar adalah proses tanpa henti ketika menghadapi bencana di Indonesia.
“Jangan sampai warga kehilangan insting untuk risiko yang dihadapinya. Kita harus punya kesadaran situasional yang berbeda-beda, karena bencana itu dinamis. Apa yang dulu tidak ada, sekarang ada,” tambah Danang.
Dalam skala nasional, Danang membuat tiga kelompok periode kebencanaan di Indonesia. Pada periode 2004-2008, Indonesia masih minim pengalaman, sumberdaya sangat sedikit tetapi harus menghadapi skala bencana yang besar dan kompleks. Pada periode 2009-2013 mulai muncul kesadaran prabencana, lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan lembaga BNPB dan dikenalkannya Incident Command System (ICS).
Selanjutnya pada 2014-2018, Indonesia sudah lebih taktis dan memperoleh kepercayaan dalam penanganan bencana, pemanfaatan teknologi informasi yang masif, memiliki banyak sumber daya. Kekurangannya adalah masyarakat sipil masih lemah dalam penanganan kejadian masif, sehingga peran militer cukup signifikan.
Suparlan dari Yayasan Sheep Indonesia melihat tiga fenomena terkait kebencanaan dalam proses belajar ini. Banyak daerah kini lebih siap dan menyadari pentingnya upaya pengurangan risiko bencana (PRB), mitigasi dan kesiapsiagaan.
“Di Yogya, kalau tidak ada gempa, bangunan tentu tidak akan memakai struktur beton yang kuat. Sekarang kita memakainya. Ini adalah salah satu faktor penting karena Indonesia memiliki banyak bencana,” ujar Suparlan.
Kedua adalah kesadaran tentang perlunya pelatihan dalam mengurangi risiko bencana. Rencana kontinjensi (contingency) telah disusun banyak pihak, yang menguraikan secara rinci siapa melakukan apa dan di mana. Pembagian peran ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih peran di lapangan ketika bencana terjadi. Suparlan juga mencatat, teknologi informasi memiliki peran besar dalam proses ini. Saat ini, melalui teknologi informasi kebencanaan dapat disusun dalam waktu singkat. Karena itulah pemanfaatannya harus terus didorong ke depan.
Buku ini disusun berdasar pengalaman empiris selama 15 tahun tim kesehatan UGM dan RS Sardjito. Ada pula paparan pengalaman penanganan bencana kelaparan di NTB pada tahun 1980 dan letusan Merapi tahun 1994. Peluncuran buku diadakan di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, UGM.
Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana mencatat Indonesia ada di peringkat pertama negara dengan jumlah korban jiwa tertinggi akibat bencana alam pada 2018. Catatan lembaga ini, pada Agustus 2018 terdapat 564 korban, September naik menjadi 3.400 orang dan Desember pada angka 453. Total korban pada 2018 di Indonesia adalah 4.417 orang. [ns/uh]