Apakah livestream selling akan menjadi masa depan dunia jual-beli online?
Apabila Anda pengguna platform berbagi video pendek TikTok, Anda mungkin sudah tidak asing dengan fitur live streaming, alias siaran langsung, yang diramaikan para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan influencer yang memasarkan berbagai produk kepada penonton, dari pakaian, camilan hingga peralatan rumah tangga. Dengan algoritma acak yang khas, siaran langsung para pedagang bisa muncul di beranda akun TikTok Anda tanpa diminta ketika Anda menyisir konten demi konten aplikasi tersebut. Anda bisa menyaksikannya lebih lanjut jika tertarik atau beralih ke konten berikutnya dengan satu usapan jari.
Yang jelas, melalui siaran langsung, para pedagang secara terampil menawarkan produk mereka sambil membaca komentar penonton dan melayani permintaan untuk menunjukkan atau memeragakan produk yang dijual. Tak lupa, mereka juga berulang kali mengingatkan para peminat untuk segera memproses transaksi pembayaran jika sudah menemukan produk yang sesuai.
“Ini stoknya menipis ya. Jadi, buat teman-teman, yuk-yuk cus, etalase 21 ini harganya udah benar-benar recommended!” kata Syari Atmadari kepada audiens siaran langsungnya di TikTok.
Bagi Syari, yang memiliki akun toko busana muslim di TikTok dan sudah berjualan di platform asal Tiongkok itu sejak September tahun lalu, fitur live streaming membantunya meyakinkan pelanggan akan kualitas produk yang ia tawarkan.
“Banyak customer yang suka cerita, mereka lihat foto [produk], pas barangnya datang nggak sesuai ekspektasi. Nah, kalau live [streaming] kan mereka lihat beneran barangnya yang dikirim kan ya pasti itu,” ungkap Syari pada VOA (1/9).
Syari baru memulai usaha busana muslimnya awal tahun lalu. Sejak awal, ia memilih memasarkan produknya secara online lewat Instagram dan platform marketplace. Namun, melalui TikTok-lah ia mendapat banyak pelanggan. Kini, omzetnya mencapai Rp70 juta dalam sebulan. Ia pun rutin melakukan siaran langsung setiap malam untuk meningkatkan penjualan.
“Kalau di TikTok, jujur saja, kita nggak perlu endorse kalau live. Sedangkan kalau di Instagram, kita butuh brand, jadi kita harus endorse orang. Kita bisa mempromosikan barang kita tanpa perlu marketing yang besar menurutku untuk UMKM yang kecil-kecil kayak kita gini,” ujarnya.
Peluang itu juga dimanfaatkan Tambok David, yang menjual baju-baju bekas bermerek, atau populer dengan sebutan thrift clothes, sebagai bisnis sampingan. Selain menawarkan berbagai keuntungan bagi pembeli, TikTok juga memudahkan pedagang baru untuk memulai bisnis online mereka, kata David.
“Di TikTok ini siapapun bisa datang mengunjungi toko kita. Tidak perlu harus follow-follow. Follow boleh, cuma orang-orang di luar yang follow kita pun bisa dengan mudah mengikuti,” tuturnya (31/8).
Dalam kondisi optimal, David dan rekannya dapat bersiaran langsung enam sampai tujuh kali sehari. Pada hari yang sibuk, ia dapat menjual 20 potong baju. Keuntungan bersih yang diperolehnya setiap bulan rata-rata berkisar Rp10-15 juta.
Interaksi Langsung Layaknya di Pasar
Selain TikTok, beberapa platform e-commerce di Indonesia juga menawarkan fitur live streaming, seperti Shopee dan Tokopedia. Instagram dan Facebook, yang juga menjadi lapak para pedagang online, pun menawarkan fitur serupa. Akan tetapi, algoritma TikTok diakui para pedagang memberi mereka akses audiens yang lebih luas.
Melalui jawaban tertulis kepada VOA, juru bicara TikTok Indonesia mengatakan bahwa TikTok Shop – yang beroperasi di Indonesia sejak Maret 2021 – ingin menciptakan kesempatan bagi kreatornya untuk memperluas jangkauan, berkomunikasi langsung dan memanfaatkan secara maksimal fitur-fitur seperti live streaming untuk meningkatkan penjualan produk mereka.
“TikTok Shop menawarkan pengalaman “Shoppertainment” yang unik, dengan menggabungkan hal-hal yang membuat TikTok hebat (terutama memberikan konten yang seru dan menghibur), diikuti dengan perdagangan untuk mendorong pendapatan bisnis dan mendekatkan para pedagang, pembeli dan kreator,” kata juru bicara TikTok Indonesia dalam pernyataannya kepada VOA (5/9).
Secara prinsip, fenomena jual-beli online melalui fitur live streaming – alias livestream selling – disebut pengamat ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda bukan barang baru. Pemanfaatan basis besar pelanggan (subscribers) platform media sosial sebagai pasar sudah dilakukan lebih dulu oleh Instagram dan Facebook. Selain itu, teknik pemasaran yang dilakukan para pedagang dalam siaran langsung juga bisa ditemui di pasar fisik.
“Ini kan cuma memindahkan saja kegiatan obral-obral di pasar, di mal, yang offline menjadi online,” ujar Huda (31/8).
Meski demikian, interaksi dua arah pedagang-pembelilah yang katanya menjadi daya tarik utama fenomena tersebut. Huda percaya, fenomena itu akan semakin diminati ke depan.
Hal serupa diutarakan pengamat e-commerce sekaligus mantan ketua umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung. Ia menjelaskan, salah satu aspek penilaian kinerja (rating) pedagang dalam platform marketplace adalah kecepatan dalam merespons pertanyaan dan permintaan pelanggan, mengingat sifat interaksinya yang tidak langsung. Mereka yang responsif diganjar ‘bintang’ yang tinggi, sementara pedagang yang tidak cukup tanggap diberi nilai yang rendah.
Fenomena livestream selling seperti di TikTok mewadahi kebutuhan pedagang untuk bisa berkomunikasi dua arah dengan pembeli secara langsung – sebuah konsep yang tidak umum pada platform e-commerce konvensional.
“Salah satu entry barrier yang paling besar buat orang-orang yang belum pernah belanja online, terus belanja online, itu kan sebenarnya interaksi. ‘Wah, ini benar nggak nih barangnya? Ini kan cuma tertulis [di iklan]. Nanti jangan-jangan ini, jangan-jangan itu,’ dan sebagainya. Belum lagi ada barang-barang yang sebenarnya tidak bisa cuma dilihat dari spek produk. Harus ditanya sedikit, karena penggunaannya lebih costumized,” jelas Untung kepada VOA (31/8).
Kemahiran pedagang meyakinkan para calon pelanggan untuk membeli produk mereka pun menciptakan urgensi yang mendorong pembeli melakukan transaksi.
Pada akhirnya, menurut Untung, orang Indonesia memang suka berbelanja. Ia mengatakan, “Kadang-kadang tuh kita lebih banyak maunya dibanding butuhnya.”
Hal itu dialami sendiri oleh Apsari Retno yang tinggal di Semarang. Ia mengaku keranjingan menyaksikan livestream selling salah satu akun pedagang blazer bekas premium di TikTok. Ia setidaknya sudah membeli 30 potong blazer dari penjual tersebut dan mengaku sempat “hampir setiap hari beli.” Pasalnya, selain kualitas produk yang sesuai harapan dengan harga lebih terjangkau, ia pun teryakinkan oleh penawaran si pedagang.
“Mungkin [terasa] lebih dekat, terbangun kedekatan antara penjual dan pembelinya. Trustnya beda, karena kita nonton livenya mereka jualan, ibaratnya kayak kita beli di pasar, jadi makin dekat.”
Lain halnya dengan Melur Nastiti Siagian, asal Depok, yang mengaku kerap tergiur membeli produk perlengkapan rumah tangga di TikTok secara impulsif. Melur mengidentifikasi diri sebagai pelanggan setia platform jual-beli online semenjak pandemi.
“Kita tuh kayak dikasih apa yang dibutuhin – eh, bukan dikasih apa yang dibutuhin – [tapi ditawari sesuatu yang] we never know we needed. Eh, ternyata ini butuh nih, terus ada videonya, ternyata kita butuh loh ini, begini-begini-begini… dijelasin di videonya. Nah, itu yang bikin pengin beli.”
Meski demikian, livestream selling di platform besutan perusahaan teknologi ByteDance itu tak lepas dari keluhan penggunanya. Syari dan David, yang mulanya mendapatkan ratusan audiens dalam sekali live, sekarang mengalami penurunan jumlah penonton tanpa alasan yang jelas dari waktu ke waktu. Baik Syari maupun David tidak yakin apakah algoritma TikTok sendiri yang menyebabkan hal itu.
TikTok: Algoritma Platform Jadi Keunggulan
Dalam keterangan tertulis, juru bicara TikTok Indonesia justru menggolongkan algoritma platform itu sebagai keunggulan TikTok Shop terhadap platform e-commerce lainnya.
“Berkat rekomendasi TikTok yang unik, beragam dan didasarkan pada minat, pengguna dapat dengan mudah menemukan produk-produk terpilih ketika mereka menonton, membuat dan berbagi konten di TikTok, sambil berbelanja langsung dengan nyaman melalui keranjang belanja yang disematkan dalam video pendek, siaran langsung maupun profil kreator, tanpa perlu meninggalkan aplikasi,” tulis juru bicara TikTok. Ipsos, dalam laporan studinya tahun 2022, menemukan bahwa pasar livestream selling di Indonesia semakin berkembang. Sebanyak 78 persen konsumen mengaku pernah mendengar dan tahu tentang alternatif belanja melalui fitur siaran langsung, di mana 71 persen di antaranya pernah mencobanya dan 56 persen pernah membeli produk melalui fitur tersebut.
Sementara itu, setidaknya terdapat 99 juta orang yang menggunakan TikTok di Indonesia menurut data penyedia data pasar dan konsumen Statista pada April 2022. Jumlah itu mengekor Amerika Serikat pada peringkat pertama sebanyak 136 juta pengguna. Sebagai perbandingan, terdapat sedikitnya 129 juta pengguna Facebook dan 99 juta pengguna Instagram di Indonesia per Januari 2022.
Survei Pemanfaatan Pasar Dagang Online (eCommerce) Paling Dipercaya dan Diandalkan oleh UMKM Indonesia 2022 yang dilakukan Telkomsel Juni lalu, Tokopedia menempati urutan pertama (76%), disusul Shopee (75%), Lazada (19%), Bukalapak (18%) dan Blibli (14%). Survei itu tidak mencantumkan platform media sosial seperti Instagram, Facebook, maupun TikTok. [rd/em]
Forum