Negara bagian Alaska di Amerika Serikat terletak di bagian utara benua Amerika. Pada musim panas, Alaska mengalami waktu siang yang sangat panjang, mencapai 20 jam, dan waktu malam yang hanya beberapa jam. Sebaliknya pada musim dingin, waktu malam sangat panjang, sedangkan waktu siang hanya beberapa jam.
Iklim Alaska yang ekstrem menjadi tantangan bagi diaspora Muslim Indonesia dalam beribadah, khususnya ketika menjalankan puasa Ramadan.
“Puasa terasa unik di (Alaska) pada saat musim panas, karena ketika berbuka matahari masih ada. Sahur pun matahari masih ada,” ujar Saraswati Yogyantiningtyas (Saras), warga Indonesia di Alaska, kepada VOA belum lama ini.
Saras pertama kali datang ke Anchorage, Alaska, pada tahun 2012. Pada waktu itu ia tinggal dan bekerja di daerah Prudhoe Bay, yang terletak di bagian pelosok Alaska.
“Saat puasa mengikuti waktu Alaska, saya jujur tidak sanggup puasa setiap hari. Saat berbuka jam 11 malam dan sahur jam 2 pagi,” ujar Saras.
Mengingat ada masalah kesehatan, pada waktu itu Saras “hanya bisa puasa setiap dua hari sekali.”
Sama halnya seperti Saras, pada waktu pertama kali menginjakkan kaki di Anchorage, sekitar sepuluh tahun lalu, warga Indonesia, Dewi Loges, menjalankan puasa dengan mengikuti waktu Alaska, yang mencapai sekitar 17-20 jam sehari.
“Dan itu sangat susah sekali ya. Waktu salat juga kadang-kadang Isya-nya itu sangat lama. Maksudnya, jauh waktunya. Mungkin jam 11, jam 12, dan itu sulit,” ujar perempuan yang sudah bermukim di Amerika Serikat selama 20 tahun ini kepada VOA.
Mengikuti Jadwal Makkah
Situs organisasi Assembly of Muslim Jurists of America (AMJA) yang didirikan untuk menanggapi kebutuhan yurisprudensi Islam sesuai dengan standar akademik bagi umat Islam di Barat menyebutkan:
“Apabila tidak ada perbedaan waktu atau terdapat jeda yang terlalu pendek yang menyebabkan seseorang tidak memiliki waktu untuk berbuka puasa, ia harus memperkirakan (waktu) puasanya dengan lokasi (negara) yang terdekat (dengan tempat tinggalnya) atau sesuai dengan waktu puasa di Makkah.”
Fahmi Zubir Zakaria, imam masjid komunitas Indonesia, IMAAM Center, di Silver Spring, Maryland mengatakan, ketetapan jadwal salat atau puasa biasanya sudah ditetapkan oleh para ulama.
“Biasanya mereka ada forum ulamanya. Kayak kita di (Amerika) kan ada FCNA (Fiqh Council of North America/Badan Ulama Islam AS dan Kanada) atau AMJA di Amerika ini. Rata-rata banyak mengacu ke sana,” jelas Ustadz Fahmi Zubir Zakaria kepada VOA.
“Jadi sebenarnya, di situ tergantung ulama yang menentukan ya, karena berbeda-beda ulama,” tambahnya.
Ustadz Fahmi menambahkan, jika sudah mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh masjid atau ulama, harus istiqamah.
“Kalau mengambil fatwa yang ini, semuanya harus diikuti,” katanya lagi.
Awalnya, Saras yang bekerja di sebuah organisasi nirlaba di Alaska mengaku tidak tahu akan peraturan tersebut. Namun, kini ia berpuasa dengan mengikuti jadwal yang telah ditetapkan oleh masjid di Alaska, the Islamic Community Center of Anchorage, yang mengikuti waktu Makkah.
“Waktu itu belum tahu kalau untuk tempat yang ekstrem seperti Alaska, bisa diberi kemudahan mengikuti jadwal Makkah,” kata Saras.
“Sejak mengikuti waktu Makkah, tantangannya tidak terlalu berat,” tambahnya.
Dewi, ibu rumah tangga, kini juga beribadah mengikuti waktu Makkah, sesuai ketetapan masjid di Alaska.
“Masjid setempat itu mengikuti waktu Makkah. Warga Muslim di Alaska mengikuti salat waktu Makkah. Sekarang ini puasa dimulai jam 4:30 dan buka itu jam 6:45,” kata Ibu dari tiga anak ini.
Perempuan asal Serang, Banten, ini mengaku mengetahui tentang peraturan ini tanpa sengaja. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu warga Indonesia di sebuah restoran.
“Waktu pertama kali datang ke (Alaska), belum mengenal ada masjid. Belum mengenal ada warga Indonesia di (Alaska) juga. Jadi merasa sendiri puasa. Jadi seperti terisolasi,” kenang Dewi.
Dewi menambahkan, di Alaska hanya ada sekitar 20 keluarga yang berasal dari Indonesia.
“Kalau yang Muslim mungkin 12 keluarga,” tambahnya.
Ramadan di Tengah Pandemi “Terasa Berbeda”
Sebelum pandemi, Dewi kerap berbuka puasa bersama warga Muslim Indonesia di Alaska atau beribadah dan berbuka puasa di masjid setempat.
Jika tahun lalu masjid-masjid di Amerika Serikat banyak yang tutup, kini masjid-masjid sudah mulai dibuka dengan pembatasan sosial yang sesuai dengan protokol kesehatan pandemi.
“Sekarang sudah mulai dibuka, tapi belum ada buka bersama. Biasanya saya suka ikut buka bersama dan salat Magrib. Tapi sekarang ini belum ada. Hanya ada Tarawih bersama dan itu setelah jam 9. Jadi saya belum pernah ke sana,” kata Dewi.
Bagi Saras, menjalankan ibadah bulan Ramadan di tengah pandemi “terasa berbeda, karena harus membatasi interaksi dengan orang banyak.”
Ajarkan Anak Puasa di AS
Tinggal di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim cukup menantang bagi Dewi dalam mengajarkan agama Islam kepada ketiga anaknya. Berbagai usaha ia lakukan, salah satunya dengan memasukkan kedua anaknya, usia 5 dan 8 tahun, ke sekolah yang mengajarkan agama Islam setiap hari Minggu. Sayangnya, sekolah Minggu kini tengah ditiadakan terkait pandemi.
“Walaupun Alhamdulillah di sini ada sekolah (Minggu), orang tua yang harus benar-benar memberikan motivasi, memberikan pelajaran,” jelasnya.
Dewi pun kerap mengajarkan Gerald, puteranya yang tertua, mengaji di rumah. Ia juga tengah melatih Gerald berpuasa, sambil memberikan pengertian mengenai puasa dan manfaatnya.
“Masih latihan, hanya setengah hari. Dan itu pun kadang-kadang hanya pas weekend, karena mereka sudah masuk sekolah dan (cuaca) masih dingin, jadi mereka belum puasa,” jelasnya.
Saat mencoba berpuasa, Gerald mengatakan dirinya “selalu merasa lapar.”
“Mungkin kalau aku sudah lebih besar, tidak akan begitu merasa lapar dan aku bisa puasa,” ujar Gerald.
Menurut Gerald, berpuasa itu bagaikan (missing word: mendapat?) perlindungan dari Allah dan membantu kita agar lebih peka terhadap orang-orang yang tidak memiliki makanan sama sekali.
Motivasi Diri Dekat Dengan Tuhan
Suasana Ramadan di Amerika memang tidak marak seperti di Indonesia.
Karena itu, menurut Dewi, ia perlu memotivasi dirinya agar bisa menjadi diri yang lebih baik dan dekat dengan Tuhan.
“Sebenarnya banyak cara untuk memotivasi diri di (Amerika) dan mungkin dengan ikutan acara-acara keagamaan. Dan saya baru tahu juga kalau di Amerika juga banyak acara-acara keagamaan yang bisa diikuti,” ujarnya.
Seperti halnya Dewi, Saras berharap Ramadan kali ini bisa membuatnya menjadi manusia yang lebih baik.
Berdasarkan informasi yang dilansir situs Fiqh Council of North America, badan ulama Islam yang diakui di Amerika Serikat dan Kanada, Idul Fitri di Amerika jatuh pada 13 Mei 2021.[di/ka]