Meskipun banyak yang menyangsikan program pemberian susu dan makan gratis bagi anak-anak Indonesia senilai Rp 440 triliun, Prabowo Subianto tetap meyakini bahwa program tersebut merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa Indonesia.
Selain itu, kata Prabowo, program tersebut diyakini akan bisa menyerap produk peternakan dan pertanian dari masyarakat.
“Pernah dalam sejarah Republik Indonesia, susu peternak kita dibuang ke sungai. Kita harapkan nanti tidak, karena akan diserap oleh anak-anak kita. Dengan demikian kita sudah hitung ekonomi akan berkembang dengan sangat baik, pertumbuhan akan meningkat, yang intinya adalah Indonesia akan mencapai tujuannya, pertumbuhan (ekonomi), menciptakan lapangan kerja, perbaikan gizi akan menimbulkan perbaikan kesehatan untuk semua anak-anak kita, peningkatan kecerdasan otot dan otak, dan tulang yang kuat,” ungkapnya di kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Jakarta, Kamis (4/1).
Selain itu, katanya program pemberian susu dan telur sudah terbukti secara ilmiah meningkatkan kecerdasan akademis anak-anak. Eksperimen tersebut, kata Prabowo, sudah pernah dilakukan di sebuah sekolah di mana dalam lima hari berturut-turut para siswa diberikan tiga telur setiap hari. Enam bulan kemudian terbukti nilai akademik mereka meningkat.
“Jadi terbukti, anak-anak kita harus kita intervensi, kita gak bisa bicara teori. Anak-anak kita apalagi anaknya orang yang ekonomi lemah, kita harus bersiap sekarang. We can't wait. Kita sudah hitung semua. Ini soal vital, ini soal necessity, ini soal masa depan bangsa,” jelasnya.
Untuk mewujudkan program tersebut, ketika kelak dirinya terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia, Prabowo berencana mengimpor sapi perah dari beberapa negara seperti India mengingat produksi sapi perah di dalam negeri hanya mampu memenuhi 15 persen dari kebutuhan susu nasional. Dijelaskannya, bahwa ada sekitar 82 juta anak yang harus diberi susu sapi segar. Dengan kebutuhan 500 cc per anak, maka dibutuhkan sebanyak kurang lebih 40 juta liter susu sapi.
“Berarti kita minimal butuh sapi perah memang 2,5 juta. Jadi kita mungkin harus impor 1-1,5 juta sapi dan dalam dua tahun dia akan melahirkan dan kita akan punya 3 juta (sapi perah). Kira-kira begitu strategi kita, dan ini tidak instan,” tambahnya.
Memang anggaran Rp440 triliun ini terdengar sangat besar dan sulit untuk diwujudkan oleh anggaran negara. Namun, Prabowo meyakini bahwa dengan berbagai upaya dan kebijakan pemerintah, salah satunya dengan memaksimalkan pendapatan negara melalui penerimaan pajak dan non pajak, maka ini bukan sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan.
“Memang kedengarannya Rp440 triliun besar, tapi Indonesia punya kemampuan. Sekarang aja APBN untuk bansos itu mendekati Rp500 triliun, kemudian anggaran untuk pendidikan itu Rp600 triliun. Jadi yang tanya kalau kita masih makan untuk anak-anak kita ini boleh tergolong bansos atau tidak? Kita butuh lapangan kerja, anak-anak kita punya hak untuk hidup layak, kita tidak mau jadi bangsa UMR terus. Jadi kita optimis masa depan kita gemilang untuk anak-anak kita,” tegasnya.
Pengamat Ekonomi Salamun Daeng mengatakan sebenarnya program tersebut memang sudah dilakukan di banyak negara, terutama negara-negara maju. Bahkan katanya PBB pun mengapresiasi program tersebut sebagai investasi jangka panjang untuk generasi muda.
“Karena saya lihat di policy UN sendiri mengatakan bahwa ini adalah investasi terbaik untuk SDM dalam jangka panjang. Jadi diasosiasikan gini setiap satu dolar yang diinvestasikan ke anak itu akan mendapatkan feedback 100 kali dari investasi itu. Jadi sebenarnya ini investasi yang diorientasikan terhadap pengelolaan SDM,” ungkap Salamun.
Selain itu, di berbagai negara program ini juga bisa memiliki efek domino terhadap dampak COVID-19 untuk kalangan masyarakat rentan yang masih terdampak hingga saat ini. Dengan upaya menyediakan susu dan makan gratis di berbagai sekolah di daerah, diyakini juga akan memulihkan perekonomian setempat pasca pandemi.
Salamun menuturkan sebenarnya ini merupakan program yang baik. Namun, ia menekankan anggaran yang akan digelontorkan untuk program tersebut harus diatur sedemikian rupa agar terdapat ruang fiskal yang cukup dan tidak membebani APBN.
“Semua program yang berbau social protection itu dirapikan maka kemudian tersedia ruang fiskalnya. Lalu kalau terjadi kebijakan yang cukup baik di bidang lain, misalnya terkait dengan industrialisasi, hilirisasi yang bisa mendongkrak penerimaan negara itu akan tersedia ruang fiskalnya. Kemudian kalau terjadi usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam belanja negara terkait dengan belanja pemerintah saya kira bisa. Ada juga terobosan lain, mengintegrasikan CSR BUMN, misalnya sekian BUMN kita bisa melaksanakan di beberapa sekolah, akan ter-back up tapi lewat sistem yang terintegrasi dengan baik, dan tidak parsial,” jelasnya.
Prabowo Soal Kebebasan Pers
Dalam kesempatan di kantor PWI, Prabowo berbicara tentang kebebasan pers. Ia menilai bahwa itu merupakan penyeimbang bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Ia pun berseloroh bahwa pers harus cukup keras dalam membagikan fakta yang terjadi di masyarakat agar berbagai permasalahan bisa terselesaikan dengan baik.
“Kebebasan pers itu adalah check and balances, untuk mengendalikan si penguasa. Dan dengan kebebasan pers yang dinamis, dan pers kalau perlu keras, walau kadang sakit hati kita baca. Tapi itu juga mengendalikan kita, itu memberi tahu kita something wrong,” kata Prabowo.
"Ada masalah di negara kita. Sering dikatakan suatu negara yang persnya kuat, tidak ada kelaparan. Itu salah satu. Karena begitu ada kelaparan tek, tek, tek, tek semua tahu," tambahnya.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah mengundang semua calon presiden. Menurut Ketua PWI Pusat Hendry Ch Bangun, ketiga capres menjanjikan perbaikan dunia pers. Namun, ia mengatakan, ketiga capres tersebut tidak terlalu detail dalam menyentuh permasalahan yang menyelimuti industri pers atau media dalam beberapa waktu belakangan ini.
“Barang kali lebih kongkrit Pak Prabowo karena dia mengatakan kemerdekaan pers adalah ini dan itu, konteksnya jelas. Sementara dua capres juga menjawab sebetulnya kembali ke UUD 45, kemerdekaan berekspresi dan menyatakan pendapat serta menyalurkan aspirasi. Saya kira bagus, walaupun barangkali tidak masuk detail, misalnya persoalan media sekarang kan ekonomi, kesejahteraan karyawan, pendapatan yang berkurang, kemudian adanya kecenderungan UU yang membahayakan pers,” ungkap Hendry. [gi/ka]
Forum