Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo cukup optimis bahwa nantinya rupiah bisa bergerak di bawah Rp16.000 per dolar Amerika Serikat.
Dalam media briefing di Gedung BI, Jakarta, Rabu (8/5) Perry mengatakan pada April lalu rupiah masih melemah di kisaran Rp16.200-Rp16.300. Namun, kini rupiah berada di level Rp16.000 per dolar Amerika Serikat.
“Nilai tukar rupiah waktu kita mengambil keputusan kebijakan moneter di Rapat Dewan Gubernur (RDG) itu sekitar Rp16.300-an, sekarang sekitar Rp16.000 dan kita sedang upayakan akan turun di bawah Rp16.000,” ungkap Perry.
Lebih jauh, Perry menjelaskan ada empat faktor yang dapat mendukung penguatan rupiah untuk bisa bergerak di bawah Rp16.000.
Pertama, menariknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia. Berdasarkan data BI, yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun naik ke level 6,94 persen per 8 April. Kedua, menurunnya premi risiko yang ditunjukkan dengan premi credit default swap (CDS) lima tahun yang turun menjadi 69,9 per 7 Mei 2024, yang sebelumnya bergerak di atas 70.
Faktor ketiga, adalah kinerja perekonomian Indonesia yang terjaga dan ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan-I yang tumbuh mencapai 5,11 persen. Lalu, faktor terakhir adalah komitmen BI untuk tetap menstabilkan nilai tukar rupiah.
Aliran Modal Asing Masuk
Dalam kesempatan itu, Perry juga melaporkan masuknya aliran modal asing (capital inflow) semenjak BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya pada April lalu ke level 6,25 persen. Ia memaparkan terdapat aliran modal asing ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada minggu pertama dan kedua pada Mei 2024 dengan total Rp19,77 triliun.
Selain itu, capital inflow juga terjadi pada Surat Berharga Negara (SBN) dalam dua minggu pertama pada bulan ini yang mencapai Rp8,1 triliun.
Namun, capital outflow atau aliran modal asing yang keluar masih terjadi di pasar modal Indonesia atau pasar saham, yang mencapai Rp5,03 triliun.
“Ini membuktikan bahwa respons kebijakan kenaikan BI Rate maupun kenaikan suku bunga SRBI itu memang berhasil menarik masuk aliran modal asing yang pada minggu-minggu berikutnya khususnya sejak menjelang Ramadan, dan lebaran itu terjadi outflow. Jadi, ini membuktikan bahwa pasar, investor dalam dan luar negeri itu menyambut baik keputusan kenaikan BI Rate dan juga kenaikan SRBI. Ini sesuai dengan arah kita, bahkan perkembangannya lebih baik,” tegasnya.
Ketika kemudian ditanyakan apakah ada kemungkinan bank sentral akan menaikkan kembali suku bunga acuannya mengingat rupiah masih belum menyentuh level di bawah Rp16.000, ia mengindikasikan BI rate masih akan ditahan di level 6,25 persen.
“Dari arah pergerakannya, kenaikan BI rate dan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) kemarin, data yang sekarang ada menunjukkan bahwa memang tidak lagi ada keperluan untuk menaikkan BI rate," tuturnya.
Meski begitu, Perry mengatakan pihaknya tidak mau mendahului hasil keputusan RDG BI yang akan digelar pada Mei 2024.
"Dengan data-data yang sekarang, kami melihat bahwa kenaikan itu cukup untuk memastikan dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, semuanya data dependen. Hasilnya tunggu RDG bulanan," tegasnya.
Perkuat Fundamental, Batasi Intervensi
Ekonom Indef Berly Martawardaya mengungkapkan untuk dapat menjaga pergerakan nilai tukar rupiah agar tetap stabil, harus dilakukan dengan cara mengkombinasikan penguatan fundamental perekonomian Indonesia dengan intervensi.
Menurutnya, cara BI untuk menstabilkan rupiah pada beberapa waktu terakhir ini dilakukan dengan lebih banyak intervensi di pasar, yang menurutnya juga tidak terlalu baik karena akan menggerus cadangan devisa negara ke depannya. Ia bahkan tidak yakin bahwa rupiah akan kembali menyentuh level di bawah Rp16.000.
“Saya tidak begitu yakin, dan tidak begitu perlu juga. Jangan at all cost, harus pertumbuhan yang fleksibel. Penting juga bagi BI untuk jangan memikirkan “keren rupiah di bawah Rp16 ribu” tapi mahal sekali biayanya yang harus dikeluarkan, seperti suku bunga naik, cadangan devisa terkuras. Jadi ada titik balance yang harus dicari, memang tidak mudah untuk menjadi sentral bank,” ungkap Berly.
Menurutnya, langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah seharusnya tidak terus dibebankan pada bank sentral saja. Pemerintah, katanya juga harus bergerak untuk memperkuat fundamental perekonomian, salah satunya dengan memperkuat ekspor. Ia mencontohkan, Kementerian Pertanian harus bisa mengurangi impor beras dengan melakukan diversifikasi pangan. Lalu Kementerian ESDM, katanya, juga bisa melakukan kebijakan mengurangi impor BBM dengan terus memaksa masyarakat menggunakan transportasi massal.
“Indonesia juga harus bisa menjadi bagian dari rantai pasok global. Kemarin CEO Apple datang cuma buka pusat training center di Bali, padahal di Vietnam dia invest besar. Bagaimana Indonesia bisa jadi investor yang ekspor oriented. Jangan kita menarik investasi yang domestik oriented, seperti mengimpor beberapa bagian lalu dirakit dan hanya dijual di domestik,” pungkasnya. [gi/lt]
Forum