Setelah pertemuan puncak dua hari dengan anggota ASEAN, Presiden Joe Biden menuju ke Seoul dan Tokyo. Meskipun perang berkecamuk di Ukraina, lawatannya merupakan tanda bahwa Indo-Pasifik tetap menjadi prioritas, dan China adalah tantangan strategis terbesarnya. Ini adalah sinergi pembangunan koalisi trans-Pasifik dan trans-Atlantik, kata penasihat keamanan nasional AS, Jake Sullivan.
“Saya pikir, kapasitas unik Presiden Biden untuk benar-benar memadukan keduanya, akan menjadi ciri khas kebijakan luar negerinya.”
Di Seoul, Biden akan bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol yang baru dilantik, setelah serangkaian uji coba rudal balistik oleh Pyongyang.
Di Tokyo, Biden ikut serta dalam KTT kemitraan Quad dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Perdana Menteri India Narendra Modi, dan Perdana Menteri Scott Morrison atau pesaingnya, Anthony Albanese, tergantung siapa yang menang dalam pemilu Australia pada Sabtu (21/5) esok.
Biden akan menggunakan krisis Ukraina untuk mengisyaratkan China bahwa perubahan sepihak secara paksa atas status quo, baik di Taiwan ataupun di pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan, tidak dapat diterima.
Robert Daly dari Wilson Center mengatakan melalui Skype, “Pemerintah AS ingin memperjelas bahwa ada dukungan kuat untuk Taiwan di seluruh kawasan dan ada kekuatan luar biasa di sana karena telah terbukti pada kekuatan aliansi trans-Atlantik terkait masalah Ukraina.”
Quad juga akan merundingkan perjanjian keamanan antara Kepulauan Solomon dan Beijing yang baru-baru ini memicu kecemasan akan didirikannya pangkalan militer China di perairan strategis Pasifik Selatan.
Pakar strategi Indo-Pasifik, Susannah Patton, menuturkan melalui Skype, “Sudah menjadi hal mendasar bagi pandangan Australia tentang keamanannya sendiri, bahwa musuh dari Pasifik seharusnya tidak bisa mengarahkan kekuatannya melawan Australia.”
Di Tokyo, Biden akan meluncurkan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik, inti dari kebijakan ekonomi pemerintahannya di kawasan itu. [ps/rd]