Sebagai bagian dari peringatan 30 tahun disahkannya Undang-undang Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Gedung Putih pada Kamis (12/9) mengumumkan upaya baru untuk mengatasi pelecehan dan kekerasan online, dan untuk membantu meringankan masalah perumahan yang dihadapi banyak korban kekerasan dalam rumah tangga ketika mereka mencoba melarikan diri dari pelaku kekerasan.
Presiden Joe Biden menulis dan memperjuangkan rancangan undang-undang tersebut sewaktu menjadi senator AS. Itu adalah UU federal komprehensif pertama yang berfokus pada penanganan kekerasan terhadap perempuan dan berupaya memberikan dukungan bagi penyintas dan keadilan. RUU tersebut berupaya mengubah narasi nasional seputar kekerasan dalam rumah tangga, yang kala itu dianggap sebagai masalah pribadi yang sebaiknya dibiarkan begitu saja.
Gedung Putih mengatakan bahwa antara 1993 dan 2022, tingkat kekerasan dalam rumah tangga turun hingga 67%. Tingkat pemerkosaan dan kekerasan seksual turun hingga 56%, menurut statistik FBI.
Departemen Kehakiman mengumumkan dana hibah lebih dari $690 juta, termasuk upaya menyampaikan perintah perlindungan secara elektronik dan strategi untuk mengatasi kekerasan berbasis gender online. Masalah ini terus berkembang dan penegak hukum sulit mengatasinya.
Undang-undang itu ditegaskan kembali pada 2022, tetapi hampir tidak pernah terlaksana. Yang mengganjal adalah ketentuan dalam proposal terakhir, yang disahkan DPR pada April 2019, yang akan melarang orang yang sebelumnya dihukum karena tindak pidana ringan, untuk memiliki senjata api.
Perluasan pembatasan itu mandek karena ditentang keras oleh Asosiasi Senjata Api Nasional AS (NRA) dan Partai Republik di Kongres. Partai Demokrat mengalah dan tidak memasukkan ketentuan tersebut.
Ketentuan itu kemudian tertuang dalam UU keamanan senjata yang didukung secara luas dan ditandatangani Kongres akhir 2022. Siapa pun yang pernah dihukum karena kejahatan ringan dalam hubungan berpacaran tidak boleh membeli atau memiliki senjata api setidaknya selama lima tahun. [ka/rs]
Forum