Mengakhiri lawatan enam hari ke Asia, Presiden AS Joe Biden menggunakan perang di Ukraina untuk mengirim pesan ke China untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar tatanan internasional.
“Integritas dan kedaulatan teritorial, hukum internasional, hak asasi manusia harus selalu dipertahankan, di mana pun itu dilanggar di dunia,” kata Biden dalam sambutannya di KTT Tokyo dengan para pemimpin Jepang, India dan Australia – kelompok informal yang dikenal sebagai Quad.
Invasi Rusia ke Ukraina meningkatkan pentingnya tujuan strategi pemerintah untuk “memajukan Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, terhubung, aman, dan tangguh,” kata Biden dalam pertemuan Quad dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Perdana Menteri Australia yang baru terpilih Anthony Albanese pada hari terakhirnya di Asia.
“Selama Rusia melanjutkan perang, Amerika Serikat akan bekerja dengan mitra-mitra kami untuk menghimpun tanggapan global, karena itu akan mempengaruhi semua bagian dunia,” kata Biden. “Pada saat yang sama, Amerika Serikat harus dan akan menjadi mitra yang kukuh, dan terus menerus di Indo-Pasifik.”
Kishida menggemakan pernyataan Biden. “Invasi Rusia ke Ukraina benar-benar menantang prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam PBB,” katanya. “Kita seharusnya tidak pernah boleh membiarkan insiden serupa terjadi di Indo-Pasifik.”
Pernyataan bersama Quad dan pernyataan keempat pemimpin itu tidak menyebut China secara langsung tetapi menggarisbawahi tujuan membangun kawasan Indo-Pasifik yang menghormati kedaulatan dan supremasi hukum – bahasa diplomatik yang secara implisit diarahkan ke Beijing.
Beijing telah secara dramatis meningkatkan anggaran militernya dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kekuatan angkatan lautnya. China sekarang memiliki anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dalam hal jumlah kapal yang diklaimnya, angkatan laut China sekarang adalah yang terbesar di dunia, kata Sam Roggeveen, direktur Program Keamanan Internasional di Lowy Institute.
“Dalam hal kemampuannya, China masih merupakan yang terbaik kedua setelah Amerika Serikat, tetapi negara itu mengejar dengan sangat cepat,” kata Roggeveen kepada VOA.
Sementara banyak kalangan di kawasan itu khawatir akan invasi China ke Taiwan, militerisasi China paling terasa di perairan yang disengketakan di Laut China Selatan, di mana Beijing telah mengubah sedikitnya tiga pulau buatan menjadi pangkalan militer, meskipun ada jaminan dari Presiden Xi Jinping pada masa lalu bahwa hal itu tidak akan terjadi. [lt/ab]