Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengakui program deradikalisasi terhadap narapidana kasus terorisme tidak mudah sebab penjara juga bisa menjadi tempat penyebarluasan paham radikal sekaligus pembibitan teroris.
Suhardi mencontohkan, mendiang pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah menjadi radikal setelah dipenjara. Salah satu tersangka pelaku bom Thamrin itu adalah anak didik Aman Abdurrahman yang kini mendekam di lembaga pemasyarakatan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, ujar Suhardi.
"Penjara itu bukan tempat steril untuk program deradikalisasi. Justru menjadi tempat-tempat penyemaian terorisme. Tujuh puluh lapas, dua rutan itu mengandung konsekuensi berat. Ketika sipir-sipir tidak mampu menguasai maka terdoktrin, itu masalah baru lagi. Tapi kalau kita kumpulkan mereka menjadi satu, itu menjadi masalah baru lagi. Akan terjadi reuni, peningkatan kemampuan, saling berbagi di situ," ujarnya.
Suhardi mengatakan saat ini ada 242 narapidana teroris di 70 lembaga pemasyarakatan dan dua rumah tahanan yang menjadi sasaran pembinaan BNPT. Para narapidana teroris itu terdiri dari empat golongan berdasarkan tingkat radikalismenya.
Level 1 adalah kelompok teroris yang tidak mau ditemui dan tidak mau bekerjasama dengan pemerintah, berjumlah 50 orang. Level 2 merupakan kelompok teroris yang bersedia ditemui tapi tidak mau ikut program serta kokoh dengan pendiriannya, berjumlah 63 orang. Level 3 adalah kelompok teroris yang bersedia ditemui, bersedia membuka diri dan mengikuti program tapi tidak mau mengajak teman-temannya, berjumlah 94 orang.
Level 4, kelompok teroris yang bersedia ditemui, bersedia ikut program, bersedia mengajak teman-temannya, bersedia mentransformasikan pemahaman yang dia terima kepada keluarga dan jaringannya, dan sudah mengadopsi pemahaman damai dan toleran, berjumlah 35 orang.
Untuk mencegah penyebarluasan paham teroris di penjara, anggota Komisi yang membidangi masalah hukum DPR Saifuddin Sudding mengusulkan pembentukan penjara khusus teroris.
"Ke depan harus ada penjara khusus teroris karena ketika mereka dicampuradukkan dengan penjahat biasa, maka di situlah paham teroris akan tumbuh subur. Ketika mereka keluar, mereka akan lebih radikal karena mereka punya kesempatan berguru. Bayangkan kalau lima tahun di penjara, mereka susah, tiap hari bertemu orang seakan-akan berbicara tentang agama, kemudian mereka keluar akan lebih berbahaya," ujarnya.
Sudding juga mengingatkan agar dalam proses pembinaan para teroris itu tidak terlalu diistimewakan karena akan membuat mereka malas dan meningkatkan posisi tawar mereka.