Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah memiliki pemimpin baru yaitu Abu al-Hasan al-Hasyimi al-Quraisyi. Saat ini telah banyak jaringan ISIS di berbagai negara yang berbaiat kepada pemimpin baru ISIS itu. Meski demikian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan sejauh ini belum terpantau ada jaringan ISIS di Indonesia yang telah berbaiat kepada Abu al Hasan.
JAKARTA - Melalui sebuah rekaman audio berdurasi 12 menit, juru bicara milisi ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) Abu Umar al-Muhajir, Kamis pekan lalu (10/3) mengumumkan kematian pemimpin ISIS Abu Ibrahim al-Hasyimi al-Quraisyi dan juru bicara Abu Hamzah al-Quraisyi, sebagaimana dilansir Furqan, media terbitan ISIS. Namun dia tidak menyebutkan di mana, kapan dan bagaimana keduanya terbunuh.
Abu Umar juga mengumumkan Abu al-Hasan al-Hasyimi al-Quraisyi sebagai pemimpin baru menggantikan Abu Ibrahim al-Hasyimi. Ditambahkan, sudah banyak jaringan ISIS di berbagai negara seperti Irak, Suriah, Somalia, Nigeria, Afghanistan dan Filipina telah berbaiat kepada Abu al-Hasan.
Menanggapi perkembangan tersebut, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwahid kepada VOA, Selasa (15/3) menjelaskan secara otomatis setiap jaringan teror pasti akan segera menunjuk pemimpin baru jika pemimpin sebelumnya tewas.
“Memang kalau belum ada pemimpinnya, kecenderungan mereka akan menunggu. Tapi kalau sudah ada pemimpinnya, otomatis membuat semangat baru dan mereka akan menunggu perintah. Tapi apapun situasinya, apapun pernyataan yang akan dikeluarkan oleh pemimpin (ISIS) yang baru, BNPT dan Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror) waspada dan kita antisipasi semuanya," kata Nurwahid.
BNPT Tetap Lakukan Pemantauan dan Kontra-Propaganda
Nurwahid menambahkan kemungkinan adanya serangan teror di Indonesia itu tergantung pada apakah memang ada perintah dari pemimpin ISIS yang baru untuk melancarkan aksi teror di negara masing-masing. Menurutnya sejauh ini belum terpantau ada jaringan ISIS di Indonesia telah berbaiat kepada pemimpin ISIS yang baru.
Meski begitu, lanjut Nurwahid, Detasemen Khusus 88 Antiteror terus memantau kelompok-kelompok yang sudah pernah berbaiat kepada ISIS seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Antisipasinya adalah menindak, memproses hukum sebelum kelompok pro-ISIS beraksi jika telah terpenuhi unsur tindak pidana terornya.
Menurutnya kelompok radikal memiliki lima indikator yakni anti-Pancasila, pro-ideologi khilafah ala ISIS, berpaham takfiri atau mengkafirkan orang yang berbeda pemahaman meski sama-sama Islam, anti pemerintah dan menganggap pemerintah thogut serta anti budaya dan kearifan lokal.
BNPTBNPT juga melakukan kontra-propaganda agar anggota kelompok radikal tidak bergabung dengan jaringan terorisme.
"ISIS itu sudah bubar. Apalagi pimpinan ISIS, Abu Hasan al-Hasyimi nggak jelas posisinya di mana. Beda sama dulu.Dulu jelas, masih kuat. Sekarang kan (ISIS) sudah sangat lemah," kata Nurwahid.
Simpatisan JI dan JAD Masih Besar
Berdasarkan pengakuan pemimpin Jamaah Islamiyah Para Wijayanto yang telah dibekuk pada 2019, kata Nurwahid, ada 6-7 ribu anggota dan simpatisan Jamaah Islamiyah di Indonesia. Sedangkan JAD sudah mempunyai 4-5 ribu anggota dan simpatisannya.
Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan lamanya pengumuman pergantian kepemimpinan ISIS dari Abu Ibrahim al-Hasimi kepada Abu al-Hasan al-Hasyimi merupakan bagian dari strategi untuk membiarkan musuh seolah-olah lupa.
Kemudian merupakan hal yang wajar setelah pengumuman pemimpin baru itu diikuti oleh baiat dari beragam kelompok ISIS di berbagai negara.
Yang harus diwaspadai, lanjutnya, adalah level ancaman ISIS setelah sudah memiliki pemimpin yang baru, apakah lebih meningkat, sama saja atau malah berkurang ketimbang saat ISIS di bawah kendali pemimpin sebelumnya.
"Dalam tren gerakan sekarang, kita melihat kemungkinan meningkat (level ancamannya) karena ada peluang dari kelompok-kelompok ISIS ini untuk unjuk kekuatan kepada imam barunya bahwa mereka masih sanggup untuk melakukan tindakan kekerasan, termasuk penyerangan, peledakan, dan sebagainya," ujar Ridlwan.
Karena itu, Ridlwan memperingatkan kepada aparat keamanan di Indonesia untuk mengantisipasi dan jangan sampai lengah. Bisa saja dengan adanya pemimpin baru, kelompok ISIS di Indonesia sedang berencana untuk mempersiapkan serangan teror.
Dia menilai ISIS adalah sebuah jaringan teroris yang sudah terlatih menghadapi berbagai situasi, bahkan pernah terlibat dalam perang skala besar selama 2016-2018 di Suriah. ISIS sedang menunggu momentum untuk mulai melancarkan serangan teror.
ISIS Lebih Nekad
Menurut Ridlwan, di Indonesia yang lebih kuat saat ini adalah jaringan ISIS yang kerap melakukan serangan teror. Sedangkan anggota Jamaah Islamiyah yang saat ini sedang ditangkapi oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror, terakhir kali melancarkan aksi pada 2009.
ISIS dan Jamaah Islamiyah sama-sama berbahaya di Indonesia, tetapi ISIS lebih nekad melancarkan teror ketimbang Jamaah Islamiyah karena merasa sudah seperti pasukan akhir jaman yang akan membawa kebaikan.
Ridlwan menjelaskan ISIS mengikuti satu komando dari pemimpin pusat di Suriah. Jika ada perintah untuk menyerang maka jaringan ISIS di selurun dunia termasuk Indonesia pasti akan melancarkan serangan teror. Biasanya setelah baiat pada pemimpin baru, ISIS akan mengeluarkan perintah untuk melakukan serangan.
Mengenai antisipasi, Ridlwan mengatakan Detasemen Khusus 88 dan intelijen harus terus mengawasi jaringan teroris yang ada, terutama jaringan ISIS di Asia Timur yang berpusat di Filipina Selatan yang dipimpin oleh Amir Mahmud dari Malaysia. Yang harus dikaji adalah apakah jaringan ISIS di Filipina itu masih berkomunikasi dengan jaringan ISIS di Indonesia yang dikendalikan oleh Rois alias Iwan Darmawan dari Nusakambangan. Jika masih ada kontak maka harus diwaspadai karena jaringan ISIS di Filipina sudah berbaiat kepada pemimpin baru ISIS, tambahnya. [fw/em]