Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris mengatakan, para deportan dan returni perempuan serta anak yang terpapar radikalisme membutuhkan tiga aspek dalam proses deradikalisasi yakni pembinaan, pendampingan, dan pemberdayaan. Dalam deradikalisasi itu dibutuhkan pendampingan khusus, mulai dari intervensi hati, tangan dan kepala.
“Hatinya dahulu kita sentuh secara psikologi, kemudian tangannya, bagaimana dia memiliki pekerjaan. Kemudian kepala, ini adalah narasi pemahaman, ideologi. Ini yang terakhir disentuh. Jangan (pertama) disentuh ideologi karena kita salah,” kata Idris di sebuah acara diskusi daring, Rabu (21/4).
Deportan adalah sebutan bagi simpatisan atau pendukung ISIS yang berniat tinggal di wilayah yang (dulunya) dikuasai ISIS, tetapi kemudian ditangkap dan dipulangkan dari negara transit. Sementara returni adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang telah berhasil masuk dan tinggal di wilayah yang (dulunya) dikuasai ISIS di Irak dan Suriah. Returni ini diklasifikasikan menjadi kombatan dan non-kombatan.
Idris melanjutkan, dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pendampingan para deportan dan returni, yang tetap mendapat pendampingan dalam tahapan deradikalisasi usai menjalani hukuman.
“Deradikalisasi dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) ada empat tahapan. Deradikalisasi di luar lapas ada empat tahapan. Tetapi penanganan deportan dan returni itu (harus) lebih banyak ditangani oleh deradikalisasi luar lapas,” ujarnya.
Deradikalisasi dan pendampingan tersebut juga merupakan upaya reintegrasi sosial bagi para deportan dan returni perempuan serta anak yang terpapar radikalisme. Menurut Idris, dalam reintegrasi sosial itu BNPT menekankan kebersamaan, kepercayaan, penerimaan, dan keteladanan.
“Ini bukan penyakit turunan. Ini penyakit laten yang sangat berbahaya yang hanya menyasar ideologi, cuma terkadang ada yang mengemasnya dengan bahasa agama,” ungkapnya.
Dengan pendampingan secara khusus itu, diharapkan para deportan dan returni perempuan serta anak yang terpapar radikalisme bisa kembali ke masyarakat, dengan pemahaman moderat, bukan radikal terorisme.
“Mereka tidak komprehensif, pemahamannya yang bermasalah, karena alasan ekonomis, politis, dan teologis. Di sini kita perlu memenangkan pikiran dan hati, jangan disalahkan. Tidak boleh menyalahkan karena mereka dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, di situ kehadiran kita,” pungkas Idris.
Alvara Research Center: Faktor Ekonomi Bukan Penyebab Orang Terpapar Radikalisme
Sementara, CEO Alvara Research Center, Hasanuddin Ali mengatakan, faktor ekonomi bukan salah satu penyebab seseorang terpapar radikalisme. Hal tersebut dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan pihaknya baru-baru ini. Survei itu juga menunjukkan bahwa potensi radikalisme selama pandemi COVID-19 juga mengalami penurunan, terutama di tahun 2020.
“Selama pandemi ini agak turun dari sekitar 30 menjadi 14 persen. Jadi Indonesia ini unik dari sisi radikalisme, survei yang kami lakukan beberapa kali itu menunjukkan tidak ada faktor kemiskinan dan ketimpangan ekonomi terhadap radikalisme. Radikalisme di Indonesia lebih banyak dibentuk oleh faktor ideologi. Nah ini mungkin berbeda dari negara lain,” ujarnya kepada VOA, pekan lalu.
Lanjutnya, setahun belakangan ini konsentrasi publik lebih ke arah penanganan pandemi, sehingga dampak terkait radikalisme tidak terlalu tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan kenapa radikalisme di Indonesia pada tahun 2020 cenderung turun dan tidak berkaitan dengan ekonomi.
“Jadi ini sebetulnya diperkuat oleh kajian lain yang dilakukan oleh BNPT sebelumnya yang mereka temukan bahwa radikalisme di Indonesia lebih banyak dibentuk oleh faktor ideologi keagamaan. Terkait ekonomi terkait ketimpangan dan pendidikan itu di faktor yang bawah,” jelas Hasan. [aa/em]