Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai mengatakan selain situs Internet, kelompok teroris di Indonesia sudah mulai merambah jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menyebarkan aktivitas mereka.
“Mereka belajar bikin bom juga tidak usah ke hutan, lewat Internet saja melalui situs-situs berpaham radikal. Termasuk di Facebook dan Twitter juga mulai dirambah oleh mereka, untuk berkomunikasi dan sebagainya,” ujar Ansyaad pada seminar mengenai terorisme di Jakarta Kamis (25/10).
Peneliti dan pemerhati masalah terorisme Solahudin mengatakan, proses penguatan paham radikal memang lebih efektif dengan menggunakan situs Internet. Situs jejaring sosial juga mulai digunakan untuk berkomunikasi di antara mereka, dan menyebar ancaman yang baru-baru ini ditujukan untuk kesatuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror.
“Orang yang ingin belajar agama, karena tidak ada situs alternatif, maka masuklah mereka ke situs-situs jihad. Setelah itu mereka mengalami self radikalisasi. Proses penebalannya, makin radikalnnya dia, itu ya memang lewat situs jejaring sosial yang dikelola oleh kaum jihadi,” ujar Solahudin.
“Di sana mereka bertemu dengan teman seide yang akhirnya saling menguatkan. Yang menarik dari pemanfaatan media jejaring sosial adalah, tantangan dari Santoso buron kekerasan Poso kepada Densus ya melalui facebook. Termasuk kabar terbaru kasus kekerasan di Poso ya melalui Facebook juga.”
Kepala hubungan masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informasi Gatot S. Dewa Broto kepada VOA mengatakan, pemerintah belum merasa perlu mengajukan permintaan kepada otoritas Twitter dan Facebook untuk memblokir halaman berisi kegiatan terorisme karena masih bisa diatasi.
Namun sejak 2010 , ujarnya, Kementrian telah menghapus situs-situs yang masuk kategori radikal. Hingga 2011, sekitar 200-300 situs yang diduga menyebarkan paham radikal telah diblokir.
“Kominfo itu sudah melakukan langkah-langkah pemblokiran situs-situs negatif sejak 10 Agustus 2010. Memang yang paling dominan adalah pornografi, tapi di luar itu ada juga situs-situs radikal, kemudian musik ilegal, obat ilegal dan sebagainya, itu sudah kami lakukan,” ujarnya.
Gatot menambahkan, selain melakukan pengawasan langsung, Kementerian Kominfo juga membuka layanan aduan. Jadi, masyarakat bisa melaporkan situs yang dianggap radikal dengan mengirim email ke aduankonten@kominfo.go.id.
“Kenapa kami harus lakukan yang sifatnya pengaduan? Karena supaya kami tidak salah dan ada dasar hukum kalau kami digugat oleh pihak manapun. Tapi di sisi lain kami bisa langsung inisiatif untuk memblokir tanpa harus nunggu pengaduan dari kantor Menkopolhukam atau dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Hal itu kami lakukan seperti saat muncul situs soal pelatihan militer yang diduga dibuat oleh kelompok teror di Indonesia,” ujar Gatot.
Namun menurut Gatot, Kementerian Kominfo tidak akan langsung melakukan pemblokiran sebuah situs, melainkan dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan meminta pendapat ahli, apakah situs itu mengandung paham radikalisme.
“Mereka belajar bikin bom juga tidak usah ke hutan, lewat Internet saja melalui situs-situs berpaham radikal. Termasuk di Facebook dan Twitter juga mulai dirambah oleh mereka, untuk berkomunikasi dan sebagainya,” ujar Ansyaad pada seminar mengenai terorisme di Jakarta Kamis (25/10).
Peneliti dan pemerhati masalah terorisme Solahudin mengatakan, proses penguatan paham radikal memang lebih efektif dengan menggunakan situs Internet. Situs jejaring sosial juga mulai digunakan untuk berkomunikasi di antara mereka, dan menyebar ancaman yang baru-baru ini ditujukan untuk kesatuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror.
“Orang yang ingin belajar agama, karena tidak ada situs alternatif, maka masuklah mereka ke situs-situs jihad. Setelah itu mereka mengalami self radikalisasi. Proses penebalannya, makin radikalnnya dia, itu ya memang lewat situs jejaring sosial yang dikelola oleh kaum jihadi,” ujar Solahudin.
“Di sana mereka bertemu dengan teman seide yang akhirnya saling menguatkan. Yang menarik dari pemanfaatan media jejaring sosial adalah, tantangan dari Santoso buron kekerasan Poso kepada Densus ya melalui facebook. Termasuk kabar terbaru kasus kekerasan di Poso ya melalui Facebook juga.”
Kepala hubungan masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informasi Gatot S. Dewa Broto kepada VOA mengatakan, pemerintah belum merasa perlu mengajukan permintaan kepada otoritas Twitter dan Facebook untuk memblokir halaman berisi kegiatan terorisme karena masih bisa diatasi.
Namun sejak 2010 , ujarnya, Kementrian telah menghapus situs-situs yang masuk kategori radikal. Hingga 2011, sekitar 200-300 situs yang diduga menyebarkan paham radikal telah diblokir.
“Kominfo itu sudah melakukan langkah-langkah pemblokiran situs-situs negatif sejak 10 Agustus 2010. Memang yang paling dominan adalah pornografi, tapi di luar itu ada juga situs-situs radikal, kemudian musik ilegal, obat ilegal dan sebagainya, itu sudah kami lakukan,” ujarnya.
Gatot menambahkan, selain melakukan pengawasan langsung, Kementerian Kominfo juga membuka layanan aduan. Jadi, masyarakat bisa melaporkan situs yang dianggap radikal dengan mengirim email ke aduankonten@kominfo.go.id.
“Kenapa kami harus lakukan yang sifatnya pengaduan? Karena supaya kami tidak salah dan ada dasar hukum kalau kami digugat oleh pihak manapun. Tapi di sisi lain kami bisa langsung inisiatif untuk memblokir tanpa harus nunggu pengaduan dari kantor Menkopolhukam atau dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Hal itu kami lakukan seperti saat muncul situs soal pelatihan militer yang diduga dibuat oleh kelompok teror di Indonesia,” ujar Gatot.
Namun menurut Gatot, Kementerian Kominfo tidak akan langsung melakukan pemblokiran sebuah situs, melainkan dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan meminta pendapat ahli, apakah situs itu mengandung paham radikalisme.