Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dikenal suka memberontak dan jarang menemukan aturan yang tidak ingin dilanggarnya – dan dalam banyak hal karir politiknya naik karena sifatnya yang suka melanggar aturan karena terdapat para pemilih yang senang dengan keberanian dan kesediaannya untuk menentang konvensi dan norma yang berlaku.
Tetapi kebiasaan melanggar aturan ini, bagaimanapun, kini berubah menjadi beban dan bukan sebuah aset lagi — bahkan di antara para pemilih populis yang menyukai gagasan pemutusan hubungan Inggris dengan masa lalu serta pemilih yang menginginkan Johnson untuk merombak politik Inggris.
Para anggota parlemen dari Partai Konservatif, pada Senin (17/1), kembali ke London setelah bertemu dengan konstituen mereka, dan teguran keras yang mereka terima masih terngiang di telinga akibat pengungkapan yang tidak habis-habisnya tentang pesta-pesta dadakan disertai suguhan minum beralkohol yang digelar di Downing Street, tempat kediaman perdana menteri, pada tahun lalu.
Pesta tersebut berlangsung di saat jumlah kematian akibat pandemi virus corona di Inggris terus meningkat. Pesta-pesta itu melanggar aturan lockdown ketat yang diberlakukan di seluruh negara, ketika pertemuan sosial dilarang dan ribuan orang tidak bisa mengunjungi anggota keluarga mereka yang sekarat di bangsal rumah sakit akibat infeksi COVID-19.
Halaman depan surat-surat kabar di Inggris menyampaikan kritik tajam dan menyebut skandal pesta ini sebagai “Partygate.” Publik juga marah ketika semakin banyak yang terungkap dari budaya pesta di Downing Street di mana para staf kantor itu memasok anggur dan bir dari sebuah supermarket dekat House of Commons (Gedung Dewan Perwakilan) dan menyelundupkannya dengan tas-tas kantor.
Seruan agar Johnson mengundurkan diri semakin keras, termasuk dari beberapa anggota Partai Konservatif di parlemen. Pesaingnya sudah bersiap-siap dibelakang layar untuk memposisikan diri mereka kalau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengganti dirinya.
Minggu lalu Johnson dengan setengah hati meminta maaf di parlemen karena telah melanggar aturan lockdown tersebut. Ia mengatakan ia mengira pesta taman di mana “para tamu membawa sendiri minumannya" itu merupakan sebuah rapat kerja. Di saat rehat minum teh, ia mengatakan kepada anggota konservatif di parlemen, skandal tersebut tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
Skandal pesta tersbeut semakin memburuk pada Jumat (14/1) lalu ketika ternyata sebuah pesta lain telah berlangsung di Downing Street pada malam sebelum penguburan Pangeran Philip.
Koran tabloid dan para anggota parlemen dari pihak oposisi secara cepat mencatat perbedaan sikap Johnson dengan perilaku Ratu Elizabeth II yang sangat memperhatikan aturan. Ketika berduka dengan kematian suaminya, Ratu duduk sendirian di kursi gereja St George, di Windsor Castle, agak menjauh dari kerabatnya yang lain. [jm/em]