Alokasi dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk masyarakat miskin melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) terbukti digunakan untuk membiayai masyarakat yang mampu.
Temuan mengejutkan itu adalah hasil penelitIan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK, Universitas Gadjah Mada. Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, Laksono Trisnantoro,dalam lokakarya pada 8 Oktober mengatakan gotong royong yang dilakukan dalam JKN berjalan terbalik.
“Saya sendiri sebagai dosen juga tidak sreg, ketika ada pengusaha kaya pakai BPJS. Ambil banyak layanan, cuma bayar 80 ribu rupiah sebulan dan bisa naik kelas. Ini adil nggak?,” kata Laksono di sela-sela pelaksanaan lokakarya untuk memaparkan hasil penelitian PKMK terkait JKN.
Apalagi yang digunakan adalah jatah kelompok masyarakat miskin yang seharusnya digunakan sebagai kompensasi daerah sulit, tambah Laksono.
“Tapi ini kesalahan undang-undang. Pokoknya uangnya sudah masuk satu kantong, ya sudah. Seperti jus, dicampur, diminum banyak orang, dan yang minum paling banyak adalah PBPU,” ujar Laksono, merujuk pada Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Yang termasuk dalam PBPU adalah pemilik usaha, pengusaha, dan pekerja sektor lain yang tidak menerima upah bulanan
Sejak 2014, PKMK menggelar lokakarya tahunan terkait pelaksanaan JKN. Hasil penelitian tahun ini membuktikan apa yang mereka khawatirkan saat membuat proyeksi pelaksanaan JKN lima tahun lalu.
Sumber Masalah di PBPU
Iuran Rp 80 ribu per bulan untuk kelas 1 terbilang ringan untuk peserta kelompok PBPU yang justru banyak berasal dari golongan mampu. Sebaliknya, kelompok ini pula yang memanfaatkan layanan mahal di rumah sakit, seperti fisioterapi hingga berbagai tindakan operasi.
Ada juga Peserta Penerima Upah (PPU) yang merupakan karyawan bergaji tetap, dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin.
Pembayaran iuran PBI lancar karena dibayar oleh pemerintah. Sedangkan PBU dibayar oleh perusahaan dengan pemotongan gaji, juga tidak mengalami kendala. Sebaliknya, PBPU yang menghabiskan uang BPJS, justru paling banyak menunggak pembayaran.
Karena itu, menurut Laksono, pemerintah harus melakukan kompartemenisasi atau membuat pengelompokan dalam mengelola keuangan BPJS. Hal itu untuk memastikan agar dana dari pemerintah pusat dan pemda tidak digunakan untuk membiayai pengobatan masyarakat mampu.
Rinciannya, pemerintah pusat membiayai 96,8 juta peserta dan pemda menanggung 35 juta orang. Sebanyak 17 juta peserta yang masuk PPU Penyelenggara Negara dan 34 juta peserta PPU Swasta, membayar iuran dengan sistem potong gaji. Sedangkan PBPU yang berjumlah 32 juta peserta dan bukan pekerja seperti pensiunan, atau veteran sekitar 5 juta orang, membayar iuran sendiri.
“Yang penting, bahwa dana pemerintah itu harus fokus untuk mereka yang miskin dan tidak mampu dengan pelayanan yang bermutu. Masyarakat yang punya uang, harus membayar lebih tergantung kemampuannya,” ujar Laksono
Laksono menyarankan mengikuti Thailand yang memberlakukan satu kelas standar, dan meniadakan kelas 1 dan kelas 2. Dengan hanya menyediakan kelas standar, kata Laksono, masyarakat mampu bisa beralih membeli asuransi kesehatan komersial.
Ia menyindir kelompok ini, yang bisa membeli secangkir kopi seharga Rp 25 ribu, tetapi tidak mau membayar lebih untuk asuransi kesehatan mereka sendiri. Di negara dengan sistem jaminan kesehatan baik, biaya asuransi kesehatan memang mahal, ujarnya.
Laksono juga mendorong pemda ikut bertanggung jawab menutup defisit BPJS. Dengan tanggung jawab itu, daerah akan aktif mengawasi pelaksanaannya dan ikut mengendalikan pembiayaan kesehatan.
Namun, untuk semua itu, kata Laksono, butuh perubahan undang-undang.
Penelitian PKMK juga menemukan bahwa pemerataan layanan kesehatan hanya terjadi di Jawa dan daerah-daerah kaya. Hal itu karena BPJS Kesehatan tidak punya dana untuk menerapkan kebijakan kompensasi akibat defisit. Kebijakan kompensasi itu, misalnya, pengiriman tenaga kesehatan ke daerah terpencil yang masih minim layanan. Defisit yang dialami BPJS terjadi karena tidak adanya batasan paket manfaat dalam JKN.
Defisit Akibat Salah Kelola
Hery Susanto, Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS, melihat apa yang terjadi saat ini disebabkan kesalahan desain sejak awal.
Pemerintah pusat dan pemda saat ini menanggung biaya iuran hampir 130 juta peserta BPJS dari masyarakat miskin. Sementara dalam praktiknya, terjadi banyak kesalahan yang berdampak luas. Misalnya, bantuan iuran yang tidak tepat sasaran dan distribusi pasien ke fasilitas kesehatan (Faskes) yang tidak transparan hingga ada faskes yang menampung lebih dari 20 ribu peserta. Evaluasi tahunan peserta belum sepenuhnya mampu mendata dengan baik kepesertaan sehingga menimbulkan masalah.
Jika BPJS Kesehatan kini mengalami defisit, menurut Hery, pemerintah tidak boleh membebankannya kepada peserta mandiri dan penerima upah. Tanggung jawab pembiayaan layanan dasar harus tetap disandang pemerintah pusat dan daerah.
“Ketika ada defisit, lalu bebannya ke masyarakat, ini kan indikasi negara gagal. Dalam konsep negara kesejahteraan, ini kan jadi beban negara semua,” kata Hery.
Lanjut Hery, wajar jika pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran karena sesuai aturan hal itu bisa dilakukan setiap dua tahun sekali. Yang harus dipertimbangkan adalah seberapa besar kenaikan bisa ditetapkan.
“Kalau sampai 100 persen, kan mengerikan. Apakah pemerintah tidak punya solusi lain, misalnya dengan menarik cukai rokok, kemudian juga memanfaatkan banyak pos-pos bantuan sosial lain, yang sekiranya bisa menambal sulam BPJS kesehatan ini agar tidak defisit ke depan,” tandasnya.
Hery mengingatkan bahwa iuran PBI sebesar Rp 23 ribu per bulan belum pernah dinaikkan, sementara iuran untuk kelompok mandiri dan swasta sudah mengalami kenaikan. Karena itu, pemerintah sebaiknya menaikkan dulu besaran iuran PBI yang ditanggung pemerintah, baru menyesuaikan besaran iuran bagi kelompok lain.
Hery juga mengkritik rencana pemerintah untuk mengaitkan kepatuhan pembayaran iuran BPJS Kesehatan dengan layanan lain seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), pembuatan paspor, hingga Izin Mendirikan Bangunan (IMB) . Langkah tersebut, menurut Hery, kontraproduktif dan menunjukkan bahwa pemerintah kalap karena tidak mampu mencari jalan keluar.
Pemerintah tengah menyiapkan sanksi terkait BPJS dan pelayanan publik karena dianggap efektif untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran, terutama dari kelompok PBPU. Sebuah Inpres disiapkan untuk mengkoordinasi data BPJS Kesehatan dengan kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lembaga lain.
Pemerintah berniat menegakkan hal itu karena sanksi layanan publik sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2013. Namun, aturan itu belum terlaksana karena kewenangan yang belum diatur lebih jauh. Selama ini, kepatuhan membayar iuran di kelompok PBPU hanya berkisar 50 persen dari 32 juta peserta. [ns/ft]