JAKARTA —
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat realisasi penerimaan pajak dalam empat tahun terakhir tidak pernah tercapai sesuai target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Ketua BPK, Hadi Purnomo di Jakarta pekan lalu menjelaskan, realisasi penerimaan pajak sesuai target APBN, atau lebih, terjadi terakhir kalinya pada 2008. Saat itu realisasi penerimaan pajak sebesar 6 persen di atas target, ujarnya.
Namun sejak 2009 hingga 2012 penerimaan pajak selalu dibawah target yang ditetapkan, ujarnya.
Hadi menambahkan, tidak tercapainya penerimaan pajak sesuai target karena pemerintah baik pusat maupun daerah tidak disiplin dalam sosialisasi tata cara perpajakan.
“Instansi pusat dan daerah , semua asosiasi, wajib menyerahkan data-data ke (kantor) pajak untuk selanjutkan dibuatkan suatu pusat data perpajakan, untuk memonitor pengisian penghitungan pajak sendiri oleh masing-masing wajib pajak. Sehingga nantinya bisa diuji secara sistemik dan penerimaan juga akan meningkat, dan menutup kesempatan untuk terjadinya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme),” ujarnya.
Tahun lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 835 triliun sementara target APBN 2012 sebesar Rp 900 triliun. Pada 2011, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 872 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 878 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan pajak 2010 sebesar Rp 650 triliun, di bawah target Rp 661 triliun, dan realisasi 2009 sebesar Rp 565 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 577 triliun.
Pengamat perpajakan dari Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro kepada VOA di Jakarta, Minggu, jika pemerintah belum berhasil menunjukkan niat serius untuk tidak mempermainkan penerimaan pajak negara, persoalan pajak tidak akan pernah berhenti.
Ia memberi contoh masih adanya kasus mafia pajak tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat transaksi dengan wajib pajak, atau korupsi terkait anggaran penerimaan pajak. Kasus-kasus tersebut, ditambahkannya, turut berkontribusi hingga penerimaan pajak sulit tercapai sesuai target.
“Masyarakat itu disuruh patuh pada aturan tapi para pemimpinnya ugal-ugalan. Mereka telah melanggar Undang-Undang No. 17/2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan hanya retorika saja dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah akan menangkap mafia pajak tapi kenyatannya para mafia pajak ada di sekitar beliau, tidak pernah tersentuh hukum,” ujarnya.
Mei lalu pemerintah mengajukan revisi target penerimaan pajak 2013 kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dari Rp 1.042 triliun menjadi Rp 987 triliun. Penurunan tersebut menurut pemerintah karena adanya revisi pertumbuhan ekonomi dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen.
Revisi tersebut berdampak negatif pada kegiatan ekspor sehingga kemungkinan perusahaan yang sebelumnya mampu membayar pajak sekitar Rp 17 triliun, saat ini hanya mampu sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun. Sektor yang paling terkena dampak adalah sektor minyak dan gas.
Ketua BPK, Hadi Purnomo di Jakarta pekan lalu menjelaskan, realisasi penerimaan pajak sesuai target APBN, atau lebih, terjadi terakhir kalinya pada 2008. Saat itu realisasi penerimaan pajak sebesar 6 persen di atas target, ujarnya.
Namun sejak 2009 hingga 2012 penerimaan pajak selalu dibawah target yang ditetapkan, ujarnya.
Hadi menambahkan, tidak tercapainya penerimaan pajak sesuai target karena pemerintah baik pusat maupun daerah tidak disiplin dalam sosialisasi tata cara perpajakan.
“Instansi pusat dan daerah , semua asosiasi, wajib menyerahkan data-data ke (kantor) pajak untuk selanjutkan dibuatkan suatu pusat data perpajakan, untuk memonitor pengisian penghitungan pajak sendiri oleh masing-masing wajib pajak. Sehingga nantinya bisa diuji secara sistemik dan penerimaan juga akan meningkat, dan menutup kesempatan untuk terjadinya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme),” ujarnya.
Tahun lalu, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 835 triliun sementara target APBN 2012 sebesar Rp 900 triliun. Pada 2011, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 872 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 878 triliun.
Sementara itu, realisasi penerimaan pajak 2010 sebesar Rp 650 triliun, di bawah target Rp 661 triliun, dan realisasi 2009 sebesar Rp 565 triliun, di bawah target yang ditetapkan sebesar Rp 577 triliun.
Pengamat perpajakan dari Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro kepada VOA di Jakarta, Minggu, jika pemerintah belum berhasil menunjukkan niat serius untuk tidak mempermainkan penerimaan pajak negara, persoalan pajak tidak akan pernah berhenti.
Ia memberi contoh masih adanya kasus mafia pajak tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat transaksi dengan wajib pajak, atau korupsi terkait anggaran penerimaan pajak. Kasus-kasus tersebut, ditambahkannya, turut berkontribusi hingga penerimaan pajak sulit tercapai sesuai target.
“Masyarakat itu disuruh patuh pada aturan tapi para pemimpinnya ugal-ugalan. Mereka telah melanggar Undang-Undang No. 17/2003 tentang Tata Kelola Keuangan Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan hanya retorika saja dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah akan menangkap mafia pajak tapi kenyatannya para mafia pajak ada di sekitar beliau, tidak pernah tersentuh hukum,” ujarnya.
Mei lalu pemerintah mengajukan revisi target penerimaan pajak 2013 kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dari Rp 1.042 triliun menjadi Rp 987 triliun. Penurunan tersebut menurut pemerintah karena adanya revisi pertumbuhan ekonomi dari 6,8 persen menjadi 6,2 persen.
Revisi tersebut berdampak negatif pada kegiatan ekspor sehingga kemungkinan perusahaan yang sebelumnya mampu membayar pajak sekitar Rp 17 triliun, saat ini hanya mampu sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun. Sektor yang paling terkena dampak adalah sektor minyak dan gas.