Belasan serikat pekerja kecewa dengan pemerintah dan DPR yang menyepakati hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Kesepakatan ini selanjutnya akan dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Sekjen Federasi Serbuk Indonesia, Khamid Istakhori, mengatakan pembahasan RUU yang akan berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia ini tidak boleh dipaksakan di tengah pandemi corona. Karena itu, ia meminta pembahasan RUU Cipta Kerja ini tidak dilanjutkan ke Sidang Paripurna DPR.
"Materi-materi yang ada di dalam omnibus law RUU Cipta Kerja bertentangan dengan banyak undang-undang dan bertentangan dengan konstitusi. Prosedur yang dilalui juga menabrak mekanisme pembuatan undang-undang," jelas Khamid kepada VOA, Senin (5/10).
Khamid menambahkan buruh bersama masyarakat sipil lainnya akan menggelar aksi dan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 untuk mendesak RUU Cipta Kerja tidak dibahas dalam Sidang Paripurna DPR. Buruh juga akan melakukan aksi mogok nasional untuk menggagalkan pengesahan RUU yang menurut mereka merugikan kaum buruh. Ia menyampaikan buruh di berbagai daerah juga telah memberitahu ke polisi setempat untuk rencana aksi-aksi tersebut.
"Kalau undang-undang ini disahkan, kami bersama gerakan masyarakat sipil akan menggunakan mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi. Sebagai upaya untuk menguji bahwa Undang-undang ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945," tambah Khamid.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta presiden untuk menolak RUU Cipta Kerja dibahas dalam Sidang Paripurna DPR. Menurutnya, hal yang sama pernah dilakukan Presiden Joko Widodo menjelang pengesahan RUU KUHP pada September tahun lalu. Akibatnya, RUU KUHP batal disahkan hingga September tahun ini.
"Artinya di masa seperti ini, Presiden Jokowi adalah pihak yang paling penting untuk menentukan apakah omnibus law RUU Cipta Kerja ini menjadi UU atau tidak," jelas Asfinawati saat konferensi pers online, Senin (5/10/2020).
Asfin juga mengingatkan bahwa RUU Cipta Kerja ini merupakan usulan pemerintah. Karena itu, masyarakat akan menyalahkan pemerintah jika nantinya RUU yang mendapat penolakan dari masyarakat ini tetap disahkan.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan tidak mempersoalkan jika buruh dan masyarakat sipil lainnya melakukan aksi penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Pantauan VOA, RUU Cipta Kerja sudah dilanjutkan ke Sidang Paripurna DPR sore ini untuk dibahas pengesahannya menjadi Undang-undang.
"Itu hak mereka yang dilindungi Undang-undang, asalkan sesuai ketentuan perundang-undangan, tidak anarkhis dan tidak merusak fasilitas negara," jelas Baidowi melalui pesan singkat ke VOA, Senin (5/10) siang.
Baidowi juga membenarkan draf RUU Cipta Kerja dengan nama "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna" yang beredar di kalangan wartawan merupakan draf terakhir RUU tersebut. Dalam draf tersebut, pemerintah membolehkan terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan sejumlah persyaratan. Beberapa di antaranya adalah perusahaan melakukan penggabungan atau pemisahan perusahaan dan alasan efisiensi.
Perusahaan wajib memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak bagi pekerja yang di-PHK. Adapun besaran pesangon disesuaikan masa kerja dengan maksimal 9 bulan upah. Sedangkan Pasal 87 yang pada mulanya akan merevisi Undang-undang Pers telah dihapus dalam draf terakhir tersebut. [sm/ab]