Hasil penjualan buku ini diharapkan bisa membantu kelangsungan kegiatan belajar mengajar di beberapa sekolah alternatif yang didirikannya, yang kini terancam tutup. Berikut ini, Wartawan VOA Vina Mubtadi berbincang dengan Butet di Washington DC, dan menyampaikan laporannya dalam program khusus memperingati hari Kartini.
Pertemuan saya dengan Butet Manurung di Washington DC awal April lalu sekaligus merupakan reuni dari pertemuan pertama saya dengannya tahun 2006 lalu di sebuah pulau terpencil di Nusa Tenggara Barat. Ketika itu, perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung meresmikan sekolah alternatif yang diberi nama Rumah Sokola di Desa Wailago yang 90 persen penduduknya buta huruf.
Bersama dua orang relawan lainnya dari organisasi nirlaba Sokola, mereka mengajarkan baca tulis, berhitung dan ketrampilan lainnya kepada anak-anak dan orang tua. Namun, baru lima tahun beroperasi, Butet mengatakan sekolah tersebut terpaksa ditutup.
“Baru enam bulan terakhir lagi, terhenti karena kita kekurangan dana. Itu salah satu kelemahan Sokola, kita bukan profesional di bidang fund-raising atau administrasi. Kita hanya kumpulan guru jadi sangat tergantung dengan donor. Memang kita tidak butuh banyak, tapi perlu untuk terus menjalankan program,” ungkap Butet.
Sejak tahun 1999 hingga kini, Butet telah mendirikan 12 sekolah alternatif. Tujuh diantaranya merupakan sekolah pasca bencana yang sifatnya hanya sementara, seperti yang ada di Aceh dan Yogyakarta. Lima sekolah lainnya diperuntukkan bagi komunitas terkucil yang tinggal di pedalaman. Namun dari lima sekolah ini, kata Butet, hanya satu yang masih beroperasi. Yang lainnya, termasuk Rumah Sokola di Flores itu, tersendat-sendat karena terkendala dana.
Karena itu Butet mencoba menggalang dana lewat berbagai cara. Salah satunya, dengan meluncurkan buku The Jungle School, di Amerika. Buku ini merupakan catatan pengalamannya saat mengajar Orang Rimba di pedalaman hutan Bukit Duabelas Jambi tahun 1999 lalu.
“Setahun pertama di Rimba, aku tidak bisa bahasa mereka. Aku memang suka menulis diari, tapi diari satu tahun pertama aku mengajar di rimba itu panjang. Jadi penuh dengan cerita-cerita yang lucu-lucu, kesalahan-kesalahanku, trouble-troubleku selama di hutan, itu aku tulis semua,” kata Butet.
'The Jungle School' diluncurkan secara resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC tanggal sepuluh April kemarin. Butet juga mengunjungi kota-kota besar lainnya di Amerika, seperti Philadelphia dan New York, untuk mengadakan bedah buku dan diskusi.
'The Jungle School' dijual di Amerika seharga 20 dolar. Salah seorang editor The Jungle School sekaligus relawan organisasi Sokola, Ro King, mengatakan seluruh hasil penjualannya akan disumbangkan.
“Sekarang ini, banyak sokola yang terancam tutup, karena pendanaannya tidak jangka panjang. Kami harap dengan dana yang digalang melalui buku ini, serta meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai program ini, bisa membantu kelangsungan rumah sokola sampai bertahun-tahun yang akan datang,” kata Ro King.
Selain meluncurkan buku di Amerika, Butet juga diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Harvard Kennedy School di Boston. Ilmu barunya, kata Butet, akan diterapkan untuk mengembangkan organisasi Sokola agar semakin banyak anak di pedalaman di Indonesia yang bisa membaca dan menulis.
Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh mengenai program pendidikan ini, Anda bisa mengunjungi situs www.sokola.org.
Pertemuan saya dengan Butet Manurung di Washington DC awal April lalu sekaligus merupakan reuni dari pertemuan pertama saya dengannya tahun 2006 lalu di sebuah pulau terpencil di Nusa Tenggara Barat. Ketika itu, perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung meresmikan sekolah alternatif yang diberi nama Rumah Sokola di Desa Wailago yang 90 persen penduduknya buta huruf.
Bersama dua orang relawan lainnya dari organisasi nirlaba Sokola, mereka mengajarkan baca tulis, berhitung dan ketrampilan lainnya kepada anak-anak dan orang tua. Namun, baru lima tahun beroperasi, Butet mengatakan sekolah tersebut terpaksa ditutup.
“Baru enam bulan terakhir lagi, terhenti karena kita kekurangan dana. Itu salah satu kelemahan Sokola, kita bukan profesional di bidang fund-raising atau administrasi. Kita hanya kumpulan guru jadi sangat tergantung dengan donor. Memang kita tidak butuh banyak, tapi perlu untuk terus menjalankan program,” ungkap Butet.
Sejak tahun 1999 hingga kini, Butet telah mendirikan 12 sekolah alternatif. Tujuh diantaranya merupakan sekolah pasca bencana yang sifatnya hanya sementara, seperti yang ada di Aceh dan Yogyakarta. Lima sekolah lainnya diperuntukkan bagi komunitas terkucil yang tinggal di pedalaman. Namun dari lima sekolah ini, kata Butet, hanya satu yang masih beroperasi. Yang lainnya, termasuk Rumah Sokola di Flores itu, tersendat-sendat karena terkendala dana.
Karena itu Butet mencoba menggalang dana lewat berbagai cara. Salah satunya, dengan meluncurkan buku The Jungle School, di Amerika. Buku ini merupakan catatan pengalamannya saat mengajar Orang Rimba di pedalaman hutan Bukit Duabelas Jambi tahun 1999 lalu.
“Setahun pertama di Rimba, aku tidak bisa bahasa mereka. Aku memang suka menulis diari, tapi diari satu tahun pertama aku mengajar di rimba itu panjang. Jadi penuh dengan cerita-cerita yang lucu-lucu, kesalahan-kesalahanku, trouble-troubleku selama di hutan, itu aku tulis semua,” kata Butet.
'The Jungle School' diluncurkan secara resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC tanggal sepuluh April kemarin. Butet juga mengunjungi kota-kota besar lainnya di Amerika, seperti Philadelphia dan New York, untuk mengadakan bedah buku dan diskusi.
'The Jungle School' dijual di Amerika seharga 20 dolar. Salah seorang editor The Jungle School sekaligus relawan organisasi Sokola, Ro King, mengatakan seluruh hasil penjualannya akan disumbangkan.
“Sekarang ini, banyak sokola yang terancam tutup, karena pendanaannya tidak jangka panjang. Kami harap dengan dana yang digalang melalui buku ini, serta meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai program ini, bisa membantu kelangsungan rumah sokola sampai bertahun-tahun yang akan datang,” kata Ro King.
Selain meluncurkan buku di Amerika, Butet juga diundang untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Harvard Kennedy School di Boston. Ilmu barunya, kata Butet, akan diterapkan untuk mengembangkan organisasi Sokola agar semakin banyak anak di pedalaman di Indonesia yang bisa membaca dan menulis.
Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh mengenai program pendidikan ini, Anda bisa mengunjungi situs www.sokola.org.