Di Amerika, fenomena cancel culture semakin marak terjadi. Fenomena ini serupa dengan pemboikotan yang dilakukan publik terhadap seseorang yang melakukan sesuatu yang dianggap tidak pantas, melalui medium media sosial. Lantas, apakah fenomena serupa juga marak terjadi di Indonesia?
Beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture terhadap figur publik di Amerika marak terjadi. Sejak warganet beramai-ramai meng-cancel produser Hollywood kawakan Harvey Weinstein pasca-pengungkapan kasus-kasus pelecehan seksual yang menyeretnya, sederetan sosok lain juga mengalami hal yang sama untuk alasan berbeda.
Misalnya, penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling, yang di-cancel karena komentarnya yang dinilai transfobia, hingga host-komedian Ellen Degeneres yang di-cancel akibat tuduhan pembiaran terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat. Akibatnya, selain reputasi yang rusak, tak jarang kontrak kerja mereka juga melayang.
Belum ada pengertian definitif atas fenomena yang disebut kamus Merriam-Webster mulai populer sejak gerakan #MeToo tahun 2017 lalu itu. Dalam konteks tersebut, kamus itu menyebut istilah ‘canceled’ bermakna menghentikan dukungan kepada orang yang berkomentar tidak pantas atau melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima, dengan cara memboikot karya mereka.
Sementara menurut peneliti komunikasi sosial dan budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, “Operasi dari cancel culture ini ialah dengan cara memotret, mempertontonkan, melabel dan mempermalukan orang tersebut di hadapan publik, melalui medium teknologi media sosial.”
Di Indonesia, fenomena serupa mulai tampak. Keberadaan media sosial membantu penyebarluasan praktik tersebut, kata peneliti media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi.
“Dan itu akhirnya ber-impact-nya apa? Orang jadi hati-hati. YouTuber juga sama. Dan YouTuber-YouTuber itu, kalau seandainya mereka sudah punya fans banyak, suatu ketika kalau dia (bertindak) rasis aja, misalnya, itu bisa langsung diserang sama fansnya. Dan itu bisa jadi (akun) dia di-take down, bisa dikucilkan juga, bisa jatuh reputasinya dalam sehari,” jelasnya.
Meski demikian, menurut Fahmi, fenomena itu masih terjadi di kalangan tertentu, seperti remaja dan penggemar K-Pop, dan kerap diwarnai kehadiran pendengung alias buzzer.
Senada dengan itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, menyebut cancel culture di Indonesia sejauh ini masih merupakan fenomena urban, karena hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat dengan akses dan literasi digital yang baik.
“Fenomena urban, agak elitis. Ini kan persoalan divide digitalnya kan kita masih tinggi, Indonesia itu. Kota-kota besar di luar Jawa itu masih belum bisa difasilitasi dengan baik juga. Mungkin Jakarta atau kota-kota besar Jawa, sehingga kalau tren mungkin ya berkembang di kota-kota besar seperti itu," paparnya.
Catatan mesin analisa "Google Trends" menunjukkan, istilah cancel culture baru mulai populer di Indonesia pada awal Agustus 2019 dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Istilah itu masih kalah populer dibandingkan istilah ‘boikot’ yang memiliki pemahaman serupa.
Meski demikian, dalam pengamatan Sunyoto, cancel culture yang dilakukan di Indonesia tidak selalu berujung pada aksi boikot.
“…mungkin sekali bentuknya seperti pemboikotan, tapi substansinya tidak lebih. Hanya menghentikan. Belum sampai upaya untuk mengubah sikap dan tindakan. Mungkin basisnya lebih sentimen pribadi, ketidaksukaan pada pribadi, dugaan saya,” imbuh Sunyoto.
Kasus cancel culture yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya menimpa atlet esports profesional perempuan, Listy Chan, yang kehilangan kontrak dengan tim EVOS Esports divisi Mobile Legends Ladies, akibat ramai perbincangan masalah percintaannya di media sosial.
Pengamat sosial UI, Devie Rahmawati, menyoroti dampak negatif dari cancel culture yang lebih dirasakan masyarakat biasa ketimbang tokoh publik. Pasalnya, “ketika cancel culture menyerang selebritas, maka mereka masih memiliki karya, yang berpeluang untuk tetap dikonsumsi dan dinilai positif oleh publik lainnya. Sedangkan bagi kalangan biasa, serangan cancel culture akan berpotensi menutup ruang aktualisasi hingga potensi ekonomi.”
Untuk itu, menurut Sunyoto, literasi digital bagi masyarakat amat penting untuk mencegah dampak yang lebih merugikan dari fenomena cancel culture yang ia sebut, “kalau dibiarkan, bisa kacau.” [rd/jm]