Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen Polisi Saud Usman Nasution mengatakan berdasarkan data pada detasemen khusus anti teror Densus 88, sedikitnya 254 warga Indonesia telah bergabung menjadi anggota ISIS, 68 di antaranya tewas dalam pertempuran atau menjadi pelaku bom bunuh diri, sementara 101 lainnya sudah kembali ke Indonesia.
Dengan rinci Saud Usman menjelaskan bahwa 52 orang dari 69 orang yang tewas itu memang tewas dalam pertempuran ISIS di berbagai negara dan 4 lainnya tewas sebagai “foreign fighters” atau pejuang asing di Suriah. Sementara 12 lainnya tewas ketika menjadi “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri di berbagai wilayah Indonesia antara tahun 1999-2015.
Hampir semua warga Indonesia yang bergabung menjadi anggota ISIS itu berusia masih muda. Menurut Usman Saud Nasution, pemuda memang rentan menjadi targat rekrutmen kelompok radikal dan karena itu BNPT kini melibatkan pemuda dalam gerakan kontra-radikal.
“Banyak pelajar dan mahasiswa yang sebelumnya kita bawa sekarang sudah hilang dari rumahnya dan sudah ke Irak dan Suriah. Ini gambaran bahwa remaja kita dalam usia yang masih muda ingin suatu eksistensi diri, mencari sesuatu yang baru dan apa yang terjadi di Suriah bisa dicontoh bahkan diidolakan oleh remaja, remaja kita sangat rentan,” kata Usman.
Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu, BNPT secara khusus juga melangsungkan dialog dengan sekitar seribu pemuda dari berbagai organisasi pemuda dan mahasiswa dari 27 propinsi. Acara selama tiga hari yang ditutup Jumat malam (30/10) itu menghadirkan sejumlah tokoh, termasuk bekas teroris.
Dalam dialog itu Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin mengatakan, Kementerian Agama dam BNPT bekerjasama erat mencegah terjadinya aksi teror yang melibatkan pemuda.
“Kami Kementerian Agama dan BNPT melakukan penandatanganan piagam kesepakatan, MOU untuk kedepan melakukan langkah-langkah yang lebih strategis dalam pencegahan terorisme. Karena pemuda-lah yang berperan sangat strategis karena ada potensi yang sangat besar karena ikut mensosialisasikan paham yang tidak ekstrem yang mentolerir tidak kekerasan yang dilakukan umumnya oleh kaum muda juga,” ujarnya.
Sementara bekas pimpinan kelompok Jamaah Islamiyah Abdul Rahman Ayub mengatakan pemuda perlu mengenal ciri-ciri media sosial maupun laman yang menyebarkan pahak radikalisme dan terorisme.
“Kita tanamkan kepada pemuda yaitu mengenal apa sih ciri-ciri gerakan atau faham radikal dan terorisme. Bagaimana melihat media atau situs-situs yang ada; ciri-cirinya adalah mudah mengkafirkan orang lain, dan mudah melakukan kerusakan dengan pembunuhan, penghalalan harta atau perampokan dihalalkan, dan seterusnya,” kata Abdul.
Nasir Abbas adalah seorang bekas anggota Jamaah Islamiyah Indonesia yang disegani pada era 1980an. Nasir secara terang-terangan mengajak para pemuda membuka diri secara obyektif dan mewaspadai ajakan yang bertentangan dengan nurani.
“Apakah kegiatan itu melanggar rasa kemanusiaan, melanggar nuraninya atau ada unsur-unsur kriminal. Kalau ada unsur-unsur seperti itu pasti sudah tidak benar. Dan, ditambah lagi jika pesan-pesan yang diberikan berbentuk hasutan, permusuhan, mengarah kepada kebencian ini adalah tanda-tandanya,” kata Nasir.
“Sebenarnya saya penasaran karena selama ini kan identik sekali radikalisme dan terorisme itu adalah dari golongan ummat Islam. Saya ingin mengetahui apakah radikalisme dan terorisme itu ada dari golongan lain, bagaimana merekrutnya,” kata Dahlia Nur Farida, seorang peserta workshop pencegahan faham radikal, terorisme dan ISIS. Dalam dialog itu ia mengatakan sangat ingin tahu alasan kian luasnya gerakan teror sekarang ini. Pengetahuan itu menurutnya penting untuk melindungi orang-orang di sekitarnya.
Dengan arif cendekiawan Muslim yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif mengatakan, saat ini sudah mendesak dilakukan proses pencerdasan umat Islam agar tidak lagi menjadi tertuduh.
“Islam itu jangan lagi menjadi agama tertuduh, itu sudah bersifat global. Untuk itu perlu ada kekuatan-kekuatan tandingan untuk menghilangan (tuduhan) itu. Padahal Islam itu agama yang membangun peradaban yang adil dan manusiawi. Kelompok-kelompok garis keras itu sebenarnya korban perang dingin tetapi mereka tidak merasa. Nah mereka tidak boleh bodoh lagi, maka proses pencerdasan ummat itu sangat penting,” katanya.
Dalam dialog selama 3 hari itu BNPT juga mengundang para penggiat media sosial dan dunia maya untuk mengikuti program damai di dunia maya. [dw]