Pada 12 Juni, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau UNESCO, mengumumkan bahwa Amerika Serikat (AS) berencana untuk bergabung kembali dengan badan PBB tersebut. Washington berkomitmen untuk membayar lebih dari $600 juta atau sekitar Rp9 triliun sebagai pembayaran atas kewajiban yang tertunggak.
AS memutuskan untuk berhenti membayar iuran UNESCO pada 2011 ketika Palestina bergabung sebagai anggota. Pada saat itu, undang-undang AS melarang pendanaan kepada badan PBB mana pun yang menyiratkan pengakuan atas tuntutan warga Palestina yang menuntut memiliki negara sendiri.
Pada 13 Juni, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengkritik niat AS terkait UNESCO, mengklaim Washington memperlakukan organisasi internasional seperti "taman":
“Organisasi-organisasi internasional bukanlah taman. Negara tidak bisa datang dan pergi sesuka mereka.”
Perbandingan itu menyesatkan, bertentangan dengan ketentuan UNESCO terkait keanggotaan suatu negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal II konstitusi organisasi.
Pasal II menyatakan bahwa keanggotaan PBB mencakup hak negara anggota atas keanggotaan UNESCO. Negara anggota PBB dapat keluar dan kemudian bergabung kembali dengan UNESCO jika membayar biaya keanggotaan organisasi. Selain itu, AS adalah negara anggota pendiri UNESCO.
“Keanggotaan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan disertai dengan hak untuk menjadi anggota Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa,” demikian bunyi Pasal II.
Konstitusi tersebut juga menyebutkan bahwa setiap “Negara Anggota atau Anggota Asosiasi (anggota dengan hak terbatas-red) dari Organisasi dapat menarik diri dari Organisasi dengan pemberitahuan yang ditujukan kepada Direktur Jenderal (UNESCO).” Setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat bergabung kembali dengan UNESCO selama negara tersebut membayar biaya keanggotaan yang harus dibayarkan selama negara tersebut tidak hadir.
AS adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota pendiri UNESCO. Dengan demikian, Washington bebas untuk bergabung kembali dengan UNESCO kapan saja. AS telah memberikan 22 persen kebutuhan dana badan tersebut.
Kementerian Luar Negeri China juga mengabaikan alasan AS mundur dari UNESCO. AS memutuskan untuk menghentikan pendanaan ke UNESCO setelah badan tersebut memberikan Palestina keanggotaan penuh pada 2011.
Langkah AS tersebut sejalan dengan undang-undang yang disahkan pada 1990-an yang melarang pendanaan AS ke badan PBB mana pun yang menyiratkan pengakuan atas tuntutan Palestina untuk memiliki negara sendiri.
Seperti yang dikatakan juru bicara Departemen Luar Negeri AS saat itu, Victoria Nuland, kepada wartawan pada Oktober 2011, keanggotaan Palestina di UNESCO memicu "pembatasan undang-undang yang sudah lama berlaku yang akan mendorong Amerika Serikat untuk tidak memberikan sumbangan kepada UNESCO."
Pada 2018, pemerintahan Presiden Donald Trump secara resmi menarik AS keluar dari UNESCO, dengan alasan bias anti-Israel dan pengelolaan yang salah urus. Namun, AS tetap menjadi pengamat organisasi tersebut.
Setelah AS keluar, China meningkatkan kontribusi tahunannya ke UNESCO menjadi sekitar $65 juta atau sekitar Rp975 miliar. Hal itu menjadikan Beijing sebagai donor terbesar UNESCO.
Majalah Foreign Policy melaporkan pada 2017 bahwa Presiden China Xi Jinping ingin memperluas pengaruh China di UNESCO karena Beijing melihatnya “sebagai sarana untuk mengatur internet global.”
Pada 2013, Brazil, China, Rusia, Kuba, Venezuela, dan 13 negara lainnya mengajukan proposal yang bertujuan untuk mengatur internet dan memposisikan UNESCO “secara strategis dalam debat internasional tentang dunia maya di tahun-tahun mendatang.”
Sejak saat itu, badan PBB tersebut terlibat dalam beragam upaya untuk mengatur masalah kecerdasan buatan, internet, dan platform digital lainnya. China menjadi pemain kunci dalam upaya tersebut.
Sejumlah pakar Barat mengeluarkan peringatan tentang upaya China untuk memimpin UNESCO.
Pada 2017, Foreign Policy mengutip seorang mantan pejabat pemerintahan Obama yang mengatakan, “Bayangkan saja UNESCO dijalankan oleh kekuatan totaliter terbesar di dunia. Itu sangat menakutkan.”
James Lewis, pakar kebijakan teknologi di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (Center for Strategic and International Studies), sebuah lembaga kajian yang berbasis di Washington, mengatakan Beijing kemungkinan mengincar posisi tata kelola internet di UNESCO. Hal itu mencerminkan kontrol ketat yang dimiliki China atas internetnya sendiri.
China memiliki sistem sensor yang lebih komprehensif dan canggih dibandingkan dengan negara mana pun.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Bidang Manajemen John Bass mengatakan pada Maret bahwa ketidakhadiran AS di UNESCO justru memperkuat posisi China.
Menurutnya, UNESCO adalah kunci dalam menetapkan dan membentuk standar untuk pengajaran teknologi dan sains di seluruh dunia. Ia menambahkan: “(Jadi) jika kita benar-benar serius tentang persaingan era digital dengan China… kita tidak bisa lagi absen lebih lama."
Pada Desember 2022, Kongres AS mengeluarkan dispensasi yang memungkinkan AS untuk memulai kembali kontribusi keuangannya bagi UNESCO. Hal tersebut akan memungkinkan Washington kembali menjadi anggota badan PBB tersebut.