Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Diplomat Rusia Sebut Para Menlu Eropa sebagai ‘Agen AS’ karena Ikuti Unjuk Rasa di Georgia


Para demonstran berkumpul di depan gedung Parlemen selama aksi protes oposisi terhadap RUU agen asing di Tbilisi, Georgia, Selasa, 28 Mei 2024.
Para demonstran berkumpul di depan gedung Parlemen selama aksi protes oposisi terhadap RUU agen asing di Tbilisi, Georgia, Selasa, 28 Mei 2024.
Dmitry Polyanskiy

Dmitry Polyanskiy

Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB

"Tak ada yang luar biasa – para agen asing (AS) memimpin demonstrasi di luar negeri (untuk) menentang undang-undang mengenai agen asing."

Menyesatkan

Pada tanggal 28 Mei 2024, anggota parlemen Georgia menolak veto presiden atas undang-undang "agen asing" yang kontroversial yang memicu protes massal selama berbulan-bulan di ibu kota Tbilisi. Para kritikus mengatakan RUU tersebut menyerupai undang-undang agen asing Rusia yang terkenal kejam, yang digunakan Kremlin untuk membatasi kebebasan pers dan masyarakat sipil. Undang-undang tersebut diperkenalkan oleh Partai Impian Georgia yang berkuasa, yang juga mengendalikan badan legislatif negara tersebut.

Perwakilan Tinggi Uni Eropa (UE) untuk Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Josep Borrell memperingatkan dalam sebuah posting di X pada tanggal 28 Mei lalau, bahwa undang-undang agen asing “akan memengaruhi jalur Georgia menuju UE” karena “tidak sejalan dengan nilai-nilai UE.”

Presiden Georgia Salome Zurabishvili pada tanggal 18 Mei memveto undang-undang tersebut, karena pihak oposisi khawatir undang-undang tersebut dapat menjadi alat penindasan politik di tangan partai yang berkuasa.

Berbicara di hadapan para pengunjuk rasa di Tbilisi pada tanggal 26 Mei, Hari Kemerdekaan Georgia, Zurabishvili mengatakan bahwa "hantu Rusia" berdiri di antara negaranya dan sekutu-sekutu Baratnya, sebuah kemitraan yang "merupakan cara sejati untuk mempertahankan kemerdekaan, perdamaian, dan kekuatan kita."

Perdana Menteri Georgia Irakli Kobakhidze, yang mewakili partai yang berkuasa dan mendukung undang-undang agen asing, menggambarkan oposisi dan kebijakan Presiden yang pro-Barat itu sebagai "pengkhianatan." Georgia menghadapi "ancaman eksistensial," karena "serangkaian" "pengkhianatan" seperti itu, katanya dalam pidato Hari Kemerdekaan.

Retorika Kobakhidze tersebut menggemakan narasi propaganda dan disinformasi Rusia yang mengklaim bahwa Amerika Serikat, dan bukan rakyat Georgia, yang mendorong berbagai protes tersebut.

Ketika sebuah video muncul pada tanggal 15 Mei di media sosial, yang memperlihatkan para menteri luar negeri Latvia, Estonia, Islandia, dan Lithuania berbaris di antara para pengunjuk rasa di Georgia, seorang diplomat Rusia memanfaatkan kesempatan itu.

Wakil Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dmitry Polyanskiy mengunggah ulang video itu di X dengan sebuah komentar:

“Tidak ada yang luar biasa – para agen asing (AS) memimpin demonstrasi di luar negeri (untuk) menentang undang-undang tentang agen asing. Kita semua ingat gambaran yang sama di Ukraina dan tahu bagaimana hal itu berakhir dan bagaimana kepentingan Ukraina diinjak-injak. Semoga orang-orang Georgia bisa belajar dari pelajaran (di Ukraina) ini.”

(Pernyataan) itu menyesatkan.

Tidak ada perwakilan AS yang terlihat dalam video tersebut, dan tidak jelas mengapa diplomat Rusia di PBB berpotensi melanggar protokol diplomatik dan melabeli para Menteri Luar Negeri dari empat negara Eropa yang independen sebagai “agen AS.”

Mengenai siapa yang memimpin protes di Georgia – oposisi politik Georgialah, bersama dengan Presiden, yang memimpin aksi-aksi demonstrasi itu.

AS dan negara-negara Barat lainnya telah secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap para pengunjuk rasa Georgia dan mengkritik RUU tersebut, dengan menyebutkan kemiripannya dengan hukum Rusia, konfliknya dengan nilai-nilai Uni Eropa, dan potensi dampak negatif pada status Georgia sebagai negara kandidat (anggota UE).

Rusia mengklaim kekhawatiran ini hanyalah dalih untuk menggelar "revolusi warna" lagi, dan komentar Polyanskiy sesuai dengan narasi disinformasi Kremlin yang umum (dituduhkan) terhadap demonstrasi pro-demokrasi di seluruh dunia.

Selama bertahun-tahun, Rusia menuduh Amerika Serikat merupakan aktor di balik "revolusi warna" di Georgia, Kazakhstan, Republik Kirgistan, Moldova, Ukraina, Hong Kong, dan di seluruh Timur Tengah dan Afrika.

Kremlin mengkritik legitimasi gerakan rakyat yang mendukung demokrasi, antikorupsi, dan reformasi, dengan mengklaim bahwa Amerika Serikat berada di belakang gerakan tersebut. Menurut Moskow, berbagai LSM hak asasi manusia dan media independen tidak memiliki kebebasan bertindak maupun ambisi tertentu, tetapi mereka dimanipulasi dan didanai oleh pihak Barat.

Pada tahun 2003, serangkaian pemberontakan publik tanpa kekerasan di Georgia yang disebut "Revolusi Mawar" telah memaksa tokoh Komunis senior Eduard Shevardnadze dan Partai Persatuan Warga Negara Georgia untuk mengundurkan diri dari jabatan presiden dan menyerahkan kendali atas negara tersebut.

Kemudian, pemerintah baru Presiden Mikheil Saakashvili, yang berfokus untuk membangun Georgia yang demokratis dan pro-Barat, menyelesaikan konflik separatis dengan Abkhazia dan Ossetia Selatan, serta mengupayakan keanggotaan NATO.

Moskow menentang reformasi tersebut dan berupaya untuk mengacaukan Georgia serta menggulingkan Saakashvili.

Pada tahun 2006, Rusia memberlakukan embargo besar-besaran terhadap produk pertanian Georgia, termasuk komoditas ekspor terpenting Georgia – anggur. Moskow tidak hanya melarang impor anggur Georgia tetapi juga melakukan penyitaan dan pemusnahan semua produk buatan Georgia di seluruh Rusia. Televisi pemerintah Rusia menyiarkan rekaman ribuan botol anggur Georgia yang ditimbun ke dalam tanah setiap hari.

Pada musim gugur tahun yang sama, Moskow mulai mendeportasi massal warga Georgia dari Rusia. Orang-orang di pusat-pusat transportasi sering berteriak, "Saya bukan orang Georgia!" sambil diseret oleh aparat penegak hukum. Pada tahun 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan bahwa deportasi warga Georgia oleh Rusia adalah ilegal.

Pada bulan Agustus 2008, pasukan Rusia menyerbu wilayah Georgia, dan setelah perang selama delapan hari, Rusia memperoleh kendali penuh atas wilayah Tskhinvali (Ossetia Selatan) dan Abkhazia, yang mencakup 20% wilayah Georgia.

Tindakan aktif Moskow terhadap Presiden Saakashvili melibatkan kampanye disinformasi besar-besaran, di mana Moskow menggambarkan Saakashvili sebagai "boneka" AS dan mencoba merendahkan martabat serta mempermalukannya.

Media Barat melaporkan sikap permusuhan Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkenal terhadap Saakashvili dan memuji Kremlin atas pembalikan kebijakan luar negeri Georgia setelah kepergian Saakashvili pada tahun 2012.

Moskow mendukung pengambilalihan oleh oligarki Rusia-Georgia Bidzina Ivanishvili dan Partai "Impian Georgia"-nya di Georgia, diikuti oleh (pemerintah) negara itu yang menjauhkan diri dari Barat dan kembali ke "lingkup pengaruh" Rusia.

AS mengecam undang-undang agen asing Georgia, dengan mengatakan penegakan UU itu akan membahayakan hubungan bilateral. Pada tanggal 23 Mei, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengumumkan pembatasan visa bagi pejabat Georgia yang terlibat dalam penyusunan dan pengesahan RUU tersebut dan mereka yang berpartisipasi dalam penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Selain itu, ketua Komisi Helsinki AS, anggota DPR AS dari Partai Republik Joe Wilson memperkenalkan rancangan undang-undang yang menawarkan peningkatan signifikan dukungan ekonomi dan keamanan AS bagi Georgia, jika otoritas di Tbilisi (bersedia) menghentikan "pemberlakuan undang-undang agen asing gaya Rusia baru-baru ini."

XS
SM
MD
LG