Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Penjualan Senjata AS ke Taiwan Tak Langgar Kesepakatan Washington-China


Sejumlah pesawat perang Taiwan terlihat sedang diparkir selama latihan simulasi tanggapan terhadap serangan China di lapangan terbang Changhua di Taiwan selatan. (Kantor Berita Militer via AP)
Sejumlah pesawat perang Taiwan terlihat sedang diparkir selama latihan simulasi tanggapan terhadap serangan China di lapangan terbang Changhua di Taiwan selatan. (Kantor Berita Militer via AP)
Mao Ning

Mao Ning

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China

“Penjualan senjata AS ke wilayah China, Taiwan, melanggar prinsip satu China dan ketentuan tiga komunike bersama antara China-AS secara serius, khususnya Komunike 17 Agustus.”

Menyesatkan

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada 2 Maret menyetujui penjualan senjata baru senilai $619 juta (setara dengan Rp9,5 triliun) kepada Taiwan. Kesepakatan tersebut dilakukan tepat ketika Taipei melaporkan hari kedua terjadinya serangan Angkatan Udara China yang menyasar ke zona identifikasi pertahanan udaranya. Padahal Taiwan adalah wilayah otonom yang memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya, mengatakan "dengan tegas menentang" kesepakatan jual beli senjata itu. China mendesak Washington "menghentikan praktik penjualan senjata dan (menjalin) hubungan militer dengan Taiwan."

“Penjualan senjata AS ke wilayah China, yaitu Taiwan, telah melanggar prinsip satu China dan ketentuan tiga komunike bersama China-AS secara serius, khususnya Komunike 17 Agustus,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning pada 2 Maret.

Pernyataan itu menyesatkan.

Pertama, “prinsip satu-China” versi Beijing jelas berbeda dengan “kebijakan satu-China” ala AS.

Prinsip satu-China menyatakan pemerintah di Beijing adalah "satu-satunya pemerintah sah yang mewakili seluruh wilayah China" dan bahwa "Taiwan adalah bagian dari China.”

Kebijakan satu-China itu hanya mengakui Beijing sebagai "satu-satunya pemerintah resmi China", tetapi tidak mengatur status Taiwan secara khusus.

Padahal faktanya, kebijakan satu-China adalah “intisari dokumen-dokumen penting seperti tiga komunike bersama AS-China dan Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act/TRA), dan serangkaian pernyataan kebijakan yang dibuat selama bertahun-tahun, seperti "Enam Jaminan,"” tulis Richard Bush, mantan kepala Institut Amerika di Taiwan (AIT), kedutaan de-facto AS di pulau itu.

Washington dan Beijing menandatangani Komunike Shanghai 1972 dan Komunike Normalisasi 1979 yang melahirkan relasi diplomatik secara formal antara kedua negara.

Namun, tidak ada satu pun komunike yang membahas isu penjualan senjata AS ke Taiwan. Dan meskipun AS hanya “mengakui” pandangan Beijing bahwa Taiwan adalah bagian dari China tanpa menyetujuinya, Beijing mengecam penjualan senjata AS ke Taipei karena dianggap melanggar kedaulatan China atas pulau itu.

Apa yang disebut Komunike 17 Agustus 1982, komunike ketiga antara AS-China, sesungguhnya adalah sebuah deklarasi yang berupaya mengatasi masalah penjualan senjata AS kepada Taiwan.

Dalam komunike bersama itu, AS mengatakan "memahami dan menghargai kebijakan China yang berupaya untuk menyelesaikan masalah Taiwan dengan damai" dan "tidak berencana melanggar kedaulatan dan integritas teritorial China, atau mencampuri urusan dalam negeri China, atau memburu kebijakan 'dua-China' atau 'satu-China, satu-Taiwan'.”

Komunike bersama tersebut lebih lanjut menyatakan:

“(Amerika Serikat) tidak berupaya menjalankan kebijakan penjualan senjata ke Taiwan dalam jangka panjang. Volume penjualan senjata ke Taiwan tidak akan melebihi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang dipasok dalam beberapa tahun terakhir sejak pembentukan hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan China, dan bahwa AS bermaksud secara bertahap mengurangi penjualan senjatanya ke Taiwan, yang selama beberapa waktu mengarah ke resolusi akhir.”

Namun, AS tidak merinci seperti apa “resolusi akhir” itu. Washington hanya menyatakan bahwa AS “mengakui posisi China mengenai penyelesaian menyeluruh masalah ini.”

Washington memutuskan hubungan formal dengan Taipei pada April 1979, dan mengakui Beijing. Setelahnya, Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Hubungan Taiwan. Regulasi tersebut menyebutkan AS akan “mempertimbangkan setiap upaya untuk menentukan masa depan Taiwan dengan sejumlah cara selain jalan damai, termasuk dengan menerapkan kebijakan boikot atau embargo, sebagai ancaman terhadap perdamaian dan keamanan wilayah Pasifik Barat dan keprihatinan serius.”

Komunike tersebut juga menyatakan AS akan “memenuhi kebutuhan sejumlah alat dan jasa pertahanan kepada Taiwan dalam jumlah yang mungkin diperlukan Taiwan untuk mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang memadai.”

Selain itu, sebelum penandatanganan komunike 17 Agustus 1982, pemerintahan Presiden Ronald Reagan secara diam-diam memberikan jaminan keamanan kepada Taipei yang dikenal dengan sebutan “Enam Jaminan.” Isi kebijakan tersebut antara lain adalah AS “tidak akan menetapkan tanggal penghentian penjualan senjata secara pasti” ke Taiwan dan “tidak akan berkonsultasi dengan RRC (Republik Rakyat China) sebelum membuat keputusan tentang penjualan senjata AS” ke Taiwan.

Reagan juga menulis memorandum internal kepresidenan yang menyatakan “kesudian AS untuk mengurangi volume penjualan senjatanya ke Taiwan sangat tergantung pada komitmen China dalam mencari solusi damai atas sejumlah perbedaan antara Taiwan dan RRC.” Memorandum tersebut juga menggarisbawahi bahwa “merupakan hal yang mendasar bahwa kuantitas dan kualitas senjata yang diberikan kepada Taiwan sepenuhnya bergantung pada ancaman RRC.”

Dalam beberapa dekade terakhir, China telah meningkatkan retorika dan agresi militernya terhadap Taiwan.

Para pucuk pimpinan China mengatakan masalah Taiwan tidak seharusnya ditunda tanpa batas waktu yang jelas. Sementara itu, seperti yang dikatakan sebuah lembaga kajian yang berbasis di New York, Asia Society, China telah “membangun kekuatan militer yang kredibel dalam menghadapi Taiwan dan pasukan AS yang mungkin mengintervensi sistem pertahanan Taiwan.”

Presiden Xi Jinping membuka kongres ke-20 Partai Komunis China yang berkuasa pada Oktober 2022. Dalam pidatonya, Jinping menyatakan Beijing “tidak akan pernah berjanji untuk meninggalkan penggunaan kekuatan dan mencadangkan opsi untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan.”Namun akan berusaha untuk mematuhi “prospek reunifikasi damai dengan ketulusan terbesar dan upaya terbaik.”

XS
SM
MD
LG