Presiden Rusia Vladimir Putin menggunakan kunjungan kenegaraan dua hari ke Beijing pekan lalu untuk mengecam Amerika Serikat dan menggambarkan tindakan Moskow sebagai kekuatan penstabil dalam urusan global.
Moskow dan Beijing menegaskan kembali “persahabatan tanpa batas,” termasuk tidak adanya “bidang kerja sama yang ’terlarang’,” yang diumumkan oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Februari 2022 – beberapa minggu sebelum invasi militer penuh Rusia ke Ukraina.
Meskipun Beijing memberikan dukungan diplomatik dan material terhadap perang Moskow, Putin mengklaim bahwa kerja sama China-Rusia tidak mengancam negara lain.
“Merupakan hal yang sangat penting bahwa hubungan Rusia-China bukanlah kontak yang bersifat ad hoc (untuk suatu tujuan semata, red.) dan (juga) tidak ditujukan terhadap siapa pun,” kata Putin.
“Kerja sama kami dalam urusan dunia merupakan salah satu faktor penstabil utama di panggung internasional. Bersama-sama, kita membela prinsip-prinsip keadilan dan tatanan dunia yang demokratis berdasarkan realitas multipolar dan hukum internasional.”
(Pernyataan Putin) itu salah.
Rusia dan China adalah negara otoriter yang secara aktif berupaya untuk menggantikan tatanan internasional berbasis aturan, yang telah dipertahankan oleh AS dan mitra Baratnya sebagai “landasan perdamaian dan kemakmuran global” sejak akhir Perang Dunia Kedua.
Baik China maupun Rusia telah bertindak menentang badan-badan internasional untuk menegaskan klaim teritorial terhadap (wilayah) negara-negara tetangga mereka. Rusia secara konsisten melanggar hukum internasional untuk mencapai tujuannya.
Yang paling mencolok adalah invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari 2022 melanggar Piagam PBB, sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kepada Dewan Keamanan pada bulan April tahun 2022.
Piagam tersebut adalah dokumen pendirian PBB, yang memuat prinsip-prinsip hukum internasional yang mengikat negara-negara anggotanya.
Pasal 2(4) Piagam PBB melarang “ancaman atau penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional dan menyerukan semua Anggota untuk menghormati kedaulatan, integritas wilayah, dan independensi politik negara lain.”
Kremlin mencoba membenarkan invasinya itu dengan mengklaim bahwa warga berbahasa Rusia dan etnis Rusia di Ukraina timur menghadapi “genosida” di bawah pemerintahan Ukraina.
Mahkamah Internasional, atau ICJ, badan peradilan tertinggi PBB, telah berulang kali menolak klaim Moskow tersebut dan menganggapnya tidak berdasar.
ICJ pada bulan Maret 2022 menyerukan Rusia untuk “segera menangguhkan” semua operasi militer di Ukraina. Hanya hakim Rusia dan China yang memberikan suara menentang keputusan tersebut. Moskow menolak keputusan ICJ itu, meskipun keputusan tersebut mengikat secara hukum.
Pencaplokan Semenanjung Krimea oleh Rusia pada tahun 2014, serta aneksasi ilegal empat wilayah Ukraina pada bulan September 2022, juga melanggar hukum internasional.
Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau ICC), sebuah pengadilan internasional yang mengadili individu “dengan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian komunitas internasional,” mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin dan komisaris hak-hak anak Maria Lvova-Belova setelah ICC menyatakan mereka bersalah melakukan kejahatan perang karena telah mendeportasi anak-anak Ukraina ke Rusia secara ilegal.
ICC pada bulan Maret juga mendakwa dua pejabat tinggi militer Rusia atas dugaan kejahatan perang di Ukraina.
Penyelidik internasional menuduh keterlibatan pasukan militer Rusia dalam serangkaian kejahatan perang di Ukraina.
Hampir 2.000 anak Ukraina telah terbunuh atau terluka sejak eskalasi perang pada tahun 2022, setidaknya dua anak per hari, UNICEF, badan kesejahteraan anak PBB, melaporkan hal ini pada tanggal 13 Mei 2024 lalu.
Setidaknya 30.000 warga sipil Ukraina telah terbunuh atau terluka oleh serangan udara Rusia, sementara militer Ukraina telah melihat sekitar 130.000 orang terbunuh atau terluka, menurut laporan pada tanggal 20 Mei oleh pelacakan konflik global dari lembaga kajian Council on Foreign Relation, yang juga mengatakan perang tersebut telah menyebabkan sekitar 10 juta warga Ukraina mengungsi dan hampir 15 juta membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Meskipun Rusia melanggar hukum internasional, Beijing, dalam pernyataan bersama dengan Moskow, mengklaim bahwa "mendukung upaya pihak Rusia untuk memastikan keamanan dan stabilitas, pembangunan dan kemakmuran nasional, kedaulatan dan integritas teritorial, dan menentang campur tangan luar dalam urusan internal Rusia."
Pada tanggal 16 Mei, Kementerian Luar Negeri China menuduh AS bersikap munafik karena mengkritik "perdagangan normal China dengan Rusia", sementara AS menggelontorkan bantuan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Ukraina."
Namun, bantuan AS untuk Ukraina tersebut dialokasikan untuk mendanai pertahanan Kyiv terhadap invasi militer Rusia, sementara bantuan China justru menguntungkan (mendukung) agresor tersebut.
Pada bulan Maret 2022, analis di lembaga Just Security, sebuah forum analisis daring, berpendapat bahwa “penyediaan bantuan militer China untuk operasi Rusia di Ukraina akan melanggar kewajiban inti berdasarkan Pasal 41” Piagam PBB.
Pasal 41 Piagam PBB melarang penyediaan bantuan atau asistensi untuk mendukung upaya negara lain dalam melanggar norma hukum tertinggi, termasuk perang agresi — terkadang disebut “perang penaklukan” atau “perang pilihan” — konflik militer agresif yang dilancarkan tanpa pembenaran untuk membela diri.
Seperti yang dilaporkan oleh Polygraph.info dan lainnya, ada bukti signifikan bahwa China telah memasok komponen senjata untuk mendukung perang agresi Rusia.
Meskipun Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada BBC bulan lalu bahwa China tidak secara nyata menyediakan senjata “kepada Rusia untuk digunakan di Ukraina,” ia tetap berpendapat bahwa pengaruh destabilisasi dari penyediaan komponen teknis (oleh China) tersebut tampak jelas.
“[China] membantu Rusia mengabadikan agresinya terhadap Ukraina, tetapi China juga menciptakan ancaman yang semakin besar bagi Eropa karena agresi Rusia," kata Blinken, seraya menambahkan bahwa China "membantu memicu ancaman terbesar terhadap ketidakamanan [Eropa] sejak berakhirnya Perang Dingin."
China juga membantu (Moskow) meredam dampak berbagai sanksi Barat yang dimaksudkan untuk merampas (melemahkan) sarana-sarana milik Rusia dalam melancarkan perang agresinya.
Beijing telah menyediakan komponen penting yang dibutuhkan Moskow untuk membuat senjata, sembari meningkatkan perdagangan kedua negara, khususnya impor minyak dan gas, untuk membantu menjaga perekonomian Rusia tetap bertahan.
Intelijen AS yang telah dideklasifikasi memperkirakan bahwa China pada tahun 2023 menyumbang sekitar 90% impor mikroelektronika Rusia yang dibutuhkan untuk memproduksi rudal, tank, dan pesawat terbang, dan 70% peralatan mesin yang kemungkinan digunakan untuk memproduksi rudal balistik.
Beijing juga telah memberi Kremlin dukungan diplomatik untuk perangnya melawan Ukraina, secara teratur mengikuti suara Rusia di Dewan Keamanan PBB dan menggunakan mesin propagandanya untuk meningkatkan pokok bahasan yang dimaksudkan untuk membenarkan perang ilegal Rusia tersebut.
Seperti Rusia, China juga semakin agresif terhadap negara-negara tetangganya.
Beijing secara konsisten mengabaikan putusan pengadilan internasional utama dan Hukum Laut PBB, yang telah menetapkan wilayah perairan (yang merupakan yurisdiksi) negara-negara tetangga China.
Penjaga pantai China secara rutin terlibat dalam kegiatan jahat di Samudra Pasifik Barat, dan sekitarnya, untuk menegaskan klaim China terhadap wilayah dan sumber daya alam di wilayah itu.
China juga semakin agresif dalam menegaskan klaim teritorialnya sendiri, dan terlibat dalam sengketa tanah (wilayah) dengan banyak negara tetangganya, yang beberapa kali telah memicu pertikaian kecil.