China adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan pemanasan global — tetapi negara itu juga merupakan pemimpin global dalam mengembangkan sumber-sumber yang disebut teknologi hijau, seperti tenaga surya dan angin. Jadi, apakah China merupakan masalah atau solusi dalam perang melawan perubahan iklim?
Menjelang konferensi iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, posisi China yang tampaknya kontradiktif dalam perang melawan perubahan iklim mulai terlihat.
Lebih dari 80 persen energi China diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, dengan ketergantungan yang besar pada batu bara. Produksi batu bara negara itu memecahkan rekor tahun lalu, dan lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara sedang dibangun.
Meskipun demikian, emisi karbon China kemungkinan akan mencapai puncaknya pada 2025, lima tahun lebih cepat dari target awal 2030, menurut proyeksi Yiyun Cui, profesor riset asosiasi dan penjabat direktur Pusat Keberlanjutan Global di Universitas Maryland.
“Hal ini terutama didorong oleh perkembangan teknologi hijau yang sangat cepat, khususnya tenaga surya dan angin. Kami melihat penyebaran kendaraan listrik sangat cepat. [Hal ini] juga didorong oleh menurunnya permintaan untuk banyak produk yang membutuhkan banyak energi seperti bahan konstruksi karena perlambatan ekonomi dan restrukturisasi,” kata Cui.
Laporan terbaru dari Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, sebuah organisasi penelitian dan kebijakan yang berbasis di Finlandia, menunjukkan bahwa pada kuartal ketiga tahun ini, emisi batu bara China meningkat. Namun peningkatan tersebut diimbangi oleh pengurangan emisi yang disebabkan oleh produksi baja, semen, dan minyak, akibat melambatnya ekonomi China.
Sementara itu, China adalah pemimpin global dalam membangun kapasitas energi terbarukan. Jumlah energi yang dipasok oleh pembangkit listrik tenaga angin dan surya yang dibangunnya, ketika mulai beroperasi, diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dari gabungan seluruh dunia, cukup untuk memberi daya pada seluruh Korea Selatan.
Selama beberapa tahun terakhir, Beijing telah mendorong serangkaian kebijakan nasional, termasuk mengalokasikan lahan untuk membangun pembangkit listrik tenaga angin dan meningkatkan penggunaan panel surya atap. Lauri Myllyvirta, peneliti senior di Asia Society Policy Institute, kepada VOA News mengatakan kebijakan ini telah merangsang ekonomi hijau China dan merupakan kepentingan Beijing untuk mengekspor teknologi hijau.
“Ada banyak antusiasme dari pemerintah daerah, bank-bank negara, investor swasta untuk proyek-proyek tenaga surya dan angin, karena proyek-proyek tersebut menguntungkan terutama setelah kontraksi pasar real estat. Semua pemain ini mencari target baru untuk investasi dan sumber pertumbuhan,” kata Myllyvirta.
Industri tenaga surya China, misalnya, mengalami kelebihan pasokan, yang mengancam akan membuat harga peralatan tetap rendah selama bertahun-tahun mendatang.
Ketika negara-negara seperti Amerika Serikat memperingatkan adanya ancaman terhadap produksi lokal, Cui mengatakan hal itu membebankan biaya untuk transisi energi global, terutama bagi negara-negara di belahan bumi selatan.
Negara-negara akan mengajukan rencana iklim baru awal tahun depan untuk mencapai Tujuan Perjanjian Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global.
Sebagai penghasil emisi terbesar di dunia, komitmen China diharapkan menjadi "sangat penting bagi upaya iklim global," kata Myllyvirta.
COP29 akan berlangsung dari 11 November hingga 22 November di Azerbaijan. [es/ft]