China mengatakan pihaknya akan terus mendukung Sri Lanka. Komitmen itu diberikan ketika perdana menteri negara kepulauan yang dilanda krisis itu pada Sabtu (29/3) menyelesaikan lawatannya ke Beijing untuk mencoba menyelesaikan kesepakatan restrukturisasi utang.
Pada Senin, Perdana Menteri Dinesh Gunawardena melakukan kunjungan ke China. Selama kunjungan tersebut, dia bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan berpartisipasi dalam Forum Boao, sebuah pertemuan internasional tingkat tinggi.
Krisis ekonomi yang telah berlangsung bertahun-tahun di Sri Lanka menjadi fokus utama selama kunjungan Gunawardena. China berkontribusi sekitar 10 persen dari total utang luar negeri negara Asia Selatan tersebut.
Beijing menyatakan kesiapannya untuk terus mendukung lembaga keuangan dalam bernegosiasi aktif dengan Sri Lanka, menjaga komunikasi bersahabat dengan kreditur lain, berperan positif dalam Dana Moneter Internasional (IMF), dan memberikan bantuan keuangan kepada Sri Lanka. Hal ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Beijing dalam pernyataan bilateral bersama yang dirilis pada Jumat.
Kedua belah pihak sepakat untuk "berusaha maksimal dalam memajukan Proyek Pembangunan Pelabuhan Kota Kolombo dan Hambantota, menjadikannya sebagai proyek-proyek utama dalam inisiatif 'Sabuk dan Jalan' bersama antara China dan Sri Lanka," seperti yang dinyatakan dalam pernyataan tersebut. Hal ini mengacu pada proyek-proyek besar yang dipimpin oleh Xi Jinping dalam Inisiatif infrastruktur 'Sabuk dan Jalan'.
Pelabuhan laut selatan Hambantota dianggap sebagai salah satu proyek yang diluncurkan oleh mantan presiden Mahinda Rajapaksa, yang memerintah negara itu selama satu dekade hingga 2015.
Rajapaksa meminjam banyak uang dari China untuk proyek-proyek yang banyak dikritik sebagai jebakan utang yang menyebabkan krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Sri Lanka.
Karena tidak mampu mengembalikan pinjaman besar yang diambil dari China pada 2017 untuk pembangunan pelabuhan Hambantota, Sri Lanka menyerahkan pelabuhan tersebut kepada China Merchants Group yang dimiliki oleh negara dengan biaya sewa sebesar $1,12 miliar selama 99 tahun.
Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya sebesar $46 miliar pada April 2022 setelah negara tersebut kehabisan devisa untuk membiayai impor penting seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Negara tersebut mendapatkan dana talangan dari IMF sebesar $2,9 miliar pada tahun lalu.
China “secara prinsip” menyetujui restrukturisasi utang Sri Lanka pada Desember. Namun baik Kolombo maupun Beijing belum memberikan rinciannya dan keduanya belum menyelesaikan kesepakatan.
Pemerintah Sri Lanka mengatakan pada Januari bahwa restrukturisasi utang luar negeri akan diselesaikan pada awal April. [ah]
Forum