China meningkatkan bantuan kepada Filipina, termasuk proposal untuk mencari minyak bersama-sama di lepas pantai dan pemberian senjata untuk membantu pemerintah melawan pemberontak Muslim. Ini memberi indikasi kedua pihak menghendaki persahabatan yang sangat kuat walaupun sengketa maritim mereka belum diselesaikan.
Tiga perusahaan, termasuk perusahaan pengebor minyak lepas-pantai milik negara China CNOOC, sedang menunggu persetujuan Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk mencari cadangan minyak di bawah perairan seluas 7.120 kilometer persegi di lepas pantai barat Filipina.
Pekan lalu, Angkatan Bersenjata Filipina mengatakan dalam situs internetnya China telah menyumbang 3.000 senapan serbu, dan 3 juta peluru, untuk membantu militer melawan Kelompok Maute, pemberontak simpatisan ISIS di kota selatan yang dilanda perang.
Transaksi itu, bersama bantuan infrastruktur dari China, mengisyaratkan kedua negara menghendaki sebanyak mungkin mengakomodasi satu sama lain. Mereka berdamai baru tahun 2016 setelah berselisih selama empat tahun mengenai kedaulatan maritim.
Pejabat China "ingin mendapat sebanyak mungkin," kata Ramon Casiple, direktur eksekutif Institute for Political and Electoral Reform, sebuah organisasi advokasi di Filipina.
"Saya bisa katakan rakyat Filipina sangat nasionalis dalam posisi mereka, khususnya terkait Laut China Selatan, tapi persahabatan itu menurut saya diterima dengan baik di sini."
Beijing mengupayakan aliansi yang lebih kuat di seluruh Asia Tenggara untuk meredakan permusuhan atas klaimnya terhadap hampir seluruh Laut China Selatan. Pengadilan arbitrase dunia memutuskan pada pertengahan 2016 bahwa China tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut hak-hak tersebut.
Klaim China tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif empat negara Asia Tenggara termasuk Filipina. Negara-negara tersebut jengkel terhadap lalu lintas kapal China dan pembangunan pulau-pulau buatan untuk infrastruktur militer.
China menawarkan bantuan dan investasi untuk negara-negara yang ikut mengklaim, yaitu Brunei, Malaysia dan Vietnam, serta Filipina. Namun Presiden Rodrigo Duterte di Manila menyambut China dengan sangat antusias sementara dia bergeser dari ketergantungan pada Amerika Serikat.
Kesuksesan China dalam pertukaran bantuan untuk toleransi politik di manapun di Asia bergantung pada kepentingan pihak lain, kata Song Seng Wun, ekonom khusus Asia Tenggara di unit perbankan swasta CIMB di Singapura.
"Selalu ada kasus di mana sisi lain lebih menyambut," kata Song. "Dalam kasus Filipina, jelas ada seorang presiden yang benar-benar ingin melakukannya, jadi kita bicara tentang mengadu China dan Amerika."
Sentimen positif Filipina terhadap China telah meningkat 17 persen sejak 2014, kata Pew Research Center bulan lalu. Sementara sentimen positif terhadap Amerika Serikat turun dari 92 menjadi 78 persen dalam dua tahun terakhir. [as/ii]