Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk mengakses pasar tenaga kerja di tanah air. Minimnya aksesibilitas dan stigma yang melekat merupakan masalah klasik yang hingga kini masih menjadi tantangan utama penyerapan talenta difabel ke dalam angkatan kerja. Untuk menjembataninya, Kerjabilitas.com hadir menjadi salah satu platform yang menghubungkan para penyedia kerja dengan pencari kerja difabel. Meski demikian, perjalanan untuk menciptakan pasar tenaga kerja yang inklusif masih panjang.
Rasa syukur meliputi Clarina Az Zahra Noor pada tahun 2018, ketika ia mendapat tawaran kerja dari sebuah perusahaan konsultan komunikasi ternama di Jakarta, sebulan setelah diwisuda sarjana. Clarina adalah penyandang cerebral palsy, sebuah gangguan perkembangan otak dan saraf yang memengaruhi kemampuan gerak, keseimbangan dan postur tubuh. Disabilitas tersebut tidak merintanginya memulai karir, pikirnya saat itu, hingga ia sempat terlena.
Situasi berubah 180 derajat pada awal 2019, ketika ia mencoba mencari pekerjaan baru. Dari lusinan lamaran yang ia layangkan, sepuluh mengantarkannya ke tahap wawancara, namun tak satu pun yang berakhir dengan kata “diterima.”
Ia mengerti, kegagalan-kegagalan itu mungkin tidak semata disebabkan oleh disabilitas yang disandangnya. Akan tetapi, Clarina cukup familiar dengan satu reaksi yang kerap mampir di raut wajah perekrut.
“Mereka lihat kondisi saya seperti apa. Ya ada saja yang mukanya langsung nggak enak, langsung menunjukkan kalau (saya) tidak sesuai harapan, pasti ada yang begitu,” ungkap lulusan Sastra Inggris dari Universitas Al Azhar Indonesia itu kepada VOA (27/1).
Hal itu tidak menghentikan langkahnya. Di tengah usaha melamar ke sana kemari, Clarina memutuskan untuk mengikuti lokakarya pembinaan karir yang diselenggarakan Kerjabilitas.com, sebuah jaringan sosial karir yang menghubungkan penyandang disabilitas dengan penyedia kerja inklusi di Indonesia. Dari lokakarya tersebut, ia mendapatkan seorang mentor yang mendorongnya untuk mengasah keterampilan non-teknis (soft skills) serta memasok informasi lowongan kerja juga sesi-sesi pelatihan lain yang bisa memolesnya menjadi aset berharga bagi perusahaan.
“Kita punya mentor sendiri, bawaan dari training tadi, dikawal terus sampai kita dapat pekerjaan,” imbuhnya.
Pada Maret 2021, setelah mengalami berbagai penolakan selama dua tahun, Clarina akhirnya diterima bekerja sebagai staf pelaporan dan analisis penjualan di salah satu badan usaha milik negara. Ia kembali diliputi rasa syukur.
“Alhamdulillahnya saya dapat teman-teman yang baik, atasan-atasan yang suportif. Saya tahu nggak gampang untuk merekrut disabilitas, tapi mereka mau mencoba.”
Inklusi adalah perjalanan
‘Mau mencoba’ adalah semangat yang disuntikkan sekaligus dicari Kerjabilitas.com dari para penyedia kerja agar terbuka terhadap talenta difabel. Tety Sianipar, pendiri sekaligus CTO (chief technology officer) Kerjabilitas, mengakui bahwa mengubah pola pikir dan stigma soal disabilitas merupakan tantangan terbesarnya sejak meluncurkan platform lowongan kerja bagi difabel itu tujuh tahun yang lalu.
Hingga kini, ia masih proaktif menghubungi perusahaan-perusahaan yang berpotensi mau diajak bekerja sama untuk membuka lowongan kerja kepada talenta difabel.
“Biasanya kalau kami door to door aja, kita masih harus jelasin apa itu disabilitas. Kita kan sekadar, ‘Halo, kamu lagi buka lowongan ya? Bisa nggak buat disabilitas? Karena kita lihat bla bla bla,’ itu aja kita masih harus jelasin, karena mereka masih yang, ‘disabilitas itu yang kayak gimana ya, Mbak?’,” kata mantan game programmer lulusan UPN Veteran Yogyakarta itu kepada VOA secara virtual (10/1).
Namun patut diakui, pemahaman penyedia kerja tentang disabilitas semakin baik setelah penyelenggaraan Asian Para Games 2018 di Jakarta dan Palembang, walau tidak serta merta membuat mereka terbuka pada gagasan merekrut talenta difabel, katanya. Alasannya beragam, dari ketidaksiapan infrastruktur dan sistem untuk mengakomodasi kebutuhan karyawan difabel, hingga kekhawatiran akan potensi diskriminasi di lingkungan kerja.
Padahal, bagi Kerjabilitas, “inklusi adalah perjalanan.”
“Kalau kamu bisa lakukan ini dulu sekarang, terima (karyawan) dengan ragam (disabilitas) ini dulu, bersama dengan dia kemudian pelan-pelan tingkatkan inklusivitas di (lingkungan) kerja, kantormu, baik itu SOP ataupun fisik. Lalu, nanti bisa rekrut yang lain lagi secara by design, bukan hanya tiba-tiba. Nggak apa-apa. Tapi setidaknya coba dulu,” pinta Tety.
Sejak diluncurkan pada 2015, Kerjabilitas fokus menyasar penyandang disabilitas usia produktif yang mencari pekerjaan di sektor formal. Hampir 1.000 pelamar telah direkrut perusahaan melalui platform tersebut, di mana sebagian besarnya (40 persen) adalah penyandang tuna daksa.
Selain menayangkan iklan lowongan pekerjaan, Kerjabilitas juga menawarkan sejumlah layanan, termasuk lokakarya peningkatan kemampuan non-teknis (soft skills) dan kesiapan memasuki dunia kerja, yang di antaranya berkolaborasi dengan BLK (Balai Latih Kerja) Kementerian Ketenagakerjaan; pelatihan kesadaran disabilitas bagi penyedia kerja atau disability awareness training for employers (DATE); dan asesmen aksesibilitas.
Mereka yang baru memulai hingga yang sudah ‘bernapaskan’ disabilitas
Salah satu perusahaan yang mencoba mulai mempekerjakan penyandang disabilitas adalah PT Indo Tambangraya Megah Tbk (PT ITM), sebuah perusahaan energi yang berkantor di Jakarta. Perusahaan dengan 2.500 karyawan itu mulai menyeriusi gagasan perekrutan tenaga kerja difabel pada 2019.
Selain untuk menaati Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, di mana perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawainya, PT ITM bermaksud memenuhi tanggung jawab moral perusahaan yang menjunjung asas inklusi.
Dalam wawancara secara virtual dengan VOA (2/2), Direktur Sustainability dan Manajemen Risiko PT ITM, Ignatius Wurwanto, mengatakan, “Sebetulnya, terus terang, terkait dengan kegiatan kami merekrut karyawan difabel sifatnya masih inisiasi, karena kami perlu lebih banyak belajar dengan segala keterbatasan. […] Ada juga kendala yang kami hadapi bahwa kami harus mengedukasi teman-teman kantor dalam lingkungan kerja,” ungkap Wurwanto, merujuk pada infrastruktur gedung kantor yang belum memenuhi standar aksesibilitas difabel serta masih minimnya kesadaran karyawan tentang isu-isu disabilitas.
Pada penghujung 2021, perusahaannya akhirnya merekrut seorang penyandang tuna rungu sebagai staf bagian komunikasi kepegawaian. Penempatan itu sengaja diatur untuk membuka ruang interaksi antara karyawan non-disabilitas dengan karyawan difabel, sehingga dapat membantu menormalisasi lingkungan kerja yang inklusi disabilitas.
Fiki Abubakar, kepala CSR (corporate social responsibility) PT ITM, juga menceritakan bagaimana perusahaannya mengundang siswa-siswi salah satu SLB (sekolah luar biasa) tuna rungu di daerah Jakarta Selatan untuk berkunjung ke kantornya dan mengikuti sesi pembinaan karir di bidang pertambangan. Studi banding itu diklaim bermanfaat bagi kedua belah pihak, bukan hanya memberikan paparan soal profesi apa saja yang dapat digeluti penyandang tuna rungu di industri pertambangan, tetapi juga memberikan paparan terhadap para karyawan mengenai masalah disabilitas.
Untuk mempertebal upaya tersebut, perusahaannya juga bekerja sama dengan Kerjabilitas menggelar lokakarya etika kerja bersama tenaga kerja difabel.
“Target kami ya sebenarnya bukan hanya – kalau ini satu persen, bisa jadi mungkin lebih dan sebanyak-banyaknya yang bisa kami serap,” cetus Fiki.
Sementara PT ITM berada pada tahap inisiasi, The Able Art sejak awal menjadikan pemberdayaan talenta difabel sebagai napas bisnisnya. The Able Art adalah toko daring yang menjual karya lukis seniman difabel yang direproduksi ke dalam berbagai produk, seperti sarung bantal, kerudung, hingga tas kain (tote bag).
Strategi reproduksi karya lukis bertujuan untuk menciptakan pemasukan tetap bagi para seniman, yang seringkali tidak memiliki pendapatan yang stabil dari hasil penjualan lukisan asli saja.
Tommy mendirikan bisnis itu pada 2017. Ia tergerak setelah menyaksikan program bincang-bincang televisi yang menghadirkan seorang pelukis difabel Indonesia, Sadikin Pard. Tak lama setelah itu, ia menjalin komunikasi dengan sang pelukis, yang membantunya membangun jejaring dengan para pelukis difabel lain dari berbagai kota di tanah air.
Sekarang, ia bermitra dengan delapan orang pelukis difabel dan membagi profit penjualan produknya dengan mereka, di mana 55 persen diberikan kepada para seniman, lima persen untuk dana pengembangan pelukis baru, dan sisanya menjadi keuntungan perusahaan.
Tommy, yang menyebut bisnisnya sebagai social enterprise, berharap kiprahnya dapat membantu menghapus stigma disabilitas yang kerap dipandang sebelah mata dan menjadi objek rasa iba. Itu sebabnya ia menyediakan mentor bagi para pelukis untuk mengasah kemampuan mereka dan menjaga kualitas karya yang dihasilkan.
“Karena kita nggak mau produk kita dibeli gara-gara kasihan. Produk kita harus dibeli gara-gara kita bisa bersaing, bagus dan punya value,” ungkap Tommy, yang beberapa kali diundang Kerjabilitas mengisi sesi lokakarya untuk berbagi pengalaman merekrut penyandang disabilitas, kepada VOA melalui Zoom (31/1).
Minimnya Akses Difabel ke Pasar Tenaga Kerja
Menurut Laporan Nasional Riskesdas 2018 oleh Kementerian Kesehatan, jumlah penyandang disabilitas dewasa (usia 18-59 tahun) di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 22 persen dari total populasi kelompok usia tersebut. Adapun menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada Agustus 2019, kegiatan utama 44,76 persen penyandang disabilitas pada usia kerja (berumur 15 tahun ke atas) adalah bekerja, lebih rendah dari penduduk usia kerja non-disabilitas (66,17 persen).
Dalam survei yang sama, aksesibilitas penyandang disabilitas dalam pasar tenaga kerja juga semakin menurun dari tahun 2016 (48,23 persen) ke 2019, di mana hanya 45,90 persen penyandang disabilitas yang masuk ke dalam angkatan kerja. Selain itu, dari seluruh penyandang disabilitas yang bekerja pada tahun 2019, hanya 24,51 persen yang bekerja di sektor formal, berkurang dari 26,07 persen pada tahun 2016.
Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang baru saja dibentuk 1 Desember 2021, menyadari berbagai tantangan yang dihadapi pencari kerja difabel di Indonesia. Rachmita Harahap, salah seorang komisioner KND, juga mencatat masih banyak perusahaan yang “masih bingung” mengenai kebutuhan penyandang disabilitas di lingkungan kerja.
Ia mengatakan, lembaganya akan merapatkan barisan dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menangani masalah ketenagakerjaan difabel di tanah air, termasuk pembuatan peraturan daerah yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tenaga kerja penyandang disabilitas.
“Apakah Kementrian Ketenagakerjaan sudah bekerja sama dengan dinas-dinas tenaga kerja, pemerintah kabupaten atau kota untuk memberikan edukasi, sosialisasi kepada pemberi kerja agar mengurangi stigma atau menghapuskan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Kemudian perubahan paradigma melihat kemampuan penyandang disabilitas berdasarkan hak asasi manusia,” jelas Rachmita kepada VOA (24/1), merujuk pada persyaratan kerja yang kerap tidak berpihak pada pelamar difabel yang memenuhi kualifikasi, seperti harus ‘sehat jasmani’.
Ia juga mengapresiasi kehadiran platform jejaring karir difabel seperti Kerjabilitas yang turut meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu ketenagakerjaan disabilitas sekaligus kans berkarir para penyandang disabilitas. Ia berharap platform-platform itu dapat semakin meningkatkan aksesibilitas mereka sehingga bisa lebih mudah diakses talenta difabel dengan ragam disabilitasnya.
Sebaliknya, Kerjabilitas juga memiliki harapan besar terhadap KND. Tety berharap KND dapat memberikan fokus yang setara pada bidang ketenagakerjaan bagi difabel, bukan hanya pada sektor pendidikan atau kesehatan.
Impian Tety bagi Kerjabilitas hanya satu, yaitu tutup. Ia ingin nantinya perusahaan-perusahaan dan platform jejaring karir lainnya sudah inklusif terhadap difabel, sehingga tidak perlu ada lagi platform khusus bagi pencari kerja dengan disabilitas.
Ia ingin isu disabilitas tidak lagi menjadi isu eksklusif dan hanya muncul setahun sekali saat peringatan Hari Disabilitas Internasional.
“Mainstreaming disability itu golnya kami, sehingga nggak heran lagi kalau ada disabilitas kerja di sana, kerja di sini, karena sebenarnya semuanya mungkin, karena spektrumnya sangat luas, sehingga sebenarnya semua ragam disabilitas bisa masuk ke mana aja,” pungkasnya. [rd/em]