Akhir pekan kali ini ada yang berbeda dari kebiasaan Melissa Anggiarti untuk melepas penat usai melakoni profesinya sebagai pilot di sebuah maskapai penerbangan pelat merah. Setelah menidurkan anaknya, Melissa biasanya bersantai dengan berselancar di dunia maya. Namun kali ini, ia memilih untuk lebih banyak mendengarkan percakapan santai dan berbobot dari tokoh-tokoh favorit yang biasa ia ikuti di akun instagramnya via platform Clubhouse.
“Selama ini saya cuma melihat mereka dari story Instagram, bahkan dari berita doang. Kalau dari akun sosmed mereka kan ngga terlalu menunjukkan cara mereka berinteraksi. Ternyata seru banget! Kayak kita gitu kalau bahas sesuatu pakai bercandaan, saling mengejek, gitu-gitu,” ujar Melissa.
Melissa mengaku sangat tertarik menjadi pengguna aktif, terutama untuk mendapatkan informasi seputar isu politik dan perempuan. “Kemarin seru banget mendengarkan topik berjudul “Masih Gadis atau Sudah Nganu?”, itu kayak bahas soal toxic relationship tapi lebih ke arah hubungan seksualnya,” katanya.
Melissa menjadi salah satu dari sekian banyak pengguna baru sosial media berbasis audio, Clubhouse, di Indonesia. Clubhouse sendiri memungkinkan penggunanya untuk mendengarkan percakapan, wawancara dan diskusi mengenai berbagai topik berbasis suara atau audio. Mirip dengan mendengarkan podcast, tetapi percakapan tersebut didengarkan secara langsung sehingga tidak memungkinkan penyuntingan dalam diskusi di sini.
Dilansir dari CNBC, aplikasi ini sudah hadir sejak Maret 2020, dengan hanya 1.500 pengguna pada Mei 2020. Hingga 1 Februari 2021, pengguna aplikasi besutan Paul Davidson dan Rohan Seth asal Sillicon Valley ini melonjak hingga menembus angka dua juta.
Ismail Fahmi pendiri Drone Emprit, lembaga yang mengamati dan menganalisa media sosial, menyebut suksesnya Clubhouse menjadi buah bibir di Indonesia tidak lepas dari peran Elon Musk yang sempat menggunakan dan mencuit soal aplikasi ini.
Pengaruh Elon Musk juga menggerakkan jari-jari orang-orang berpengaruh di Tanah Air untuk turut menggunakan aplikasi tersebut.
Jurnalis sekaligus akademisi, Prabu Revolusi, adalah salah satu pembicara yang aktif di Clubhouse dalam sepekan terakhir. Sembari mengurus dan menidurkan anaknya, ia menjadi salah satu pembicara mengenai berbagai isu bersama dengan figur-figur berpengaruh di Tanah Air, sebut saja Komisaris Utama Telkomsel Wishnutama, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Parekraf Sandiaga Uno, hingga Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
“Yang menarik adalah di Clubhouse ini egaliter, kayak ngobrol biasa aja dan orang lain bisa dengerin. Pembicaranya lebih jujur kalau menurut saya, karena dilakukan tanpa settingan,” ujar Prabu saat dihubungi VOA. “Misalnya Mas Wishnutama, tetap mengeluarkan pikiran tajam dan kreatif tapi bahasanya lebih santai, redaksionalnya pake gue dan elu. Kang Emil juga lebih bercanda. Jadi mereka jadi dirinya sendiri, sih.”
Dalam diskusi terakhirnya yang dihadiri berbagai influencer hingga wakil menteri, ruang bicara yang dihadiri Prabu didengarkan oleh lebih dari 6.000 orang.
Meledak karena Influencer
“Elon Musk apapun yang ia sebut jadi penting,” ujar Ismail Fahmi terkait dengan bagaimana Clubhouse menjadi sebuah fenomena baru. Sebelumnya, cuitan boss Tesla soal mata uang kripto juga mendorong perhatian khalayak luas terhadap mata uang kripto dogecoin.
Diikuti oleh tokoh-tokoh elit Indonesia, mulai dari figur publik hingga CEO, Clubhouse menjadi platform berbagi informasi terbaru pada tahun 2021 ini. “Saya rasa ada tiga faktor yang bikin Clubhouse besar di Indonesia: faktor Elon Musk, faktor influencer, dan faktor eksklusifitas,” ujar Ismail.
Clubhouse sendiri baru bisa dinikmati pengguna gawai keluaran Apple. Meski terkesan eksklusif dan membuat ilusi daya tarik ‘penasaran’, Ismail berpandangan hal ini lebih dikarenakan pengguna Clubhouse awalnya ditujukan untuk pasar AS yang sangat didominasi oleh pengguna Apple dibandingkan Android.
Clubhouse Vs Warung Kopi
“Yang menarik itu trennya ke depan media sosial untuk mencari informasi. Nilainya akan lebih tinggi lagi,” ujar Ismail. Ia memprediksi Clubhouse akan menjadi fenomena baru di dalam masyarakat dalam menseleksi informasi dari dunia maya melalui sumbernya secara langsung. Fitur Clubhouse memungkinkan pengguna untuk bertanya dan berinteraksi langsung dengan pembicara.
Ismail menambahkan potensi perubahan perilaku dalam mengonsumsi informasi ini juga didukung oleh mulai jengahnya masyarakat dengan media massa yang kerap kali mengandalkan pada judul sensasional demi klik.
Ismail berpandangan bahwa aplikasi ini digandrungi dengan cepat karena budaya ‘warung kopi’ masyarakat Indonesia. “Karakter kita (orang Indonesia -red) kan suka ngobrol, suka ngerumpi, chatting. Satu hal, orang langsung mengasosiasikan kita dengan cangkrukan (warungan -red), dan warung kopi. Nama Clubhouse sendiri kan berasosiasi dengan budaya orang luar (barat -red), abis acara atau kantor mereka ke kafe, ke bar, kemudian ngobrol,” kata Ismail.
Hal ini diamini oleh Prabu Revolusi yang mengaku selama sepekan terakhir jadi harus tidur larut karena terlibat obrolan berjam-jam setiap malam di Clubhouse. “Ngobrol semalam sambil di sofa tidur-tiduran, bikin kopi, begitu pembicara yang lain ngomong, saya mute sebentar kemudian ngobrol sama istri terus dengerin pembicaraannya bareng-bareng gitu.”
Kemudahan bergabung di Clubhouse melalui media suara dianggap juga menjadi keunggulan. Pembicara bisa bergabung tanpa harus repot-repot memikirkan penampilan dan tempat bicara, dan bisa dilakukan secara fleksibel dari manapun.
Tenggat Enam Bulan
Indonesia menjadi negara nomor dua dengan percakapan terbesar tentang Clubhouse berdasarkan data analisis Twitter menurut analisis Drone Emprit,
“Nomor satu itu Amerika, nomor dua Indonesia, nomor tiga itu Thailand, kemudian Inggris.” Ramainya pembicaraan Clubhouse di Indonesia mencuatkan perhatian mengenai perizinan aplikasi tersebut, terlebih Clubhouse belum memiliki kantor perwakilan di Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mewajibkan pendaftaran untuk setiap penyelenggara sistem elektronik (PSE). Dalam Peraturan Menteri Kominfo No 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, kewajiban itu juga mencakup PSE yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi tapi tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial.
Berdasarkan rilis yang diedarkan Kemenkominfo, pihaknya mengonfirmasi bahwa Clubhouse belum terdaftar. Dalam tenggat enam bulan, Clubhouse harus mengurus perizinan PSE untuk menghindari pemblokiran akses, penutupan akun dan/atau penghapusan konten.
Ismail Fahmi sebut masyarakat jangan memandang skeptis aturan pemerintah ini. Ia memandang perlu alur pendaftaran PSE guna melindungi konsumen Indonesia yang menggunakan aplikasi tersebut.
“Aplikasi apapun harus didaftar. Negara ini kan perlu semacam aturan yang diikuti. Mungkin akan ditanya kantornya di mana, perwakilannya ada ngga. Tujuannya untuk warga Indonesia sendiri. Jadi kalau ada masalah ada perwakilannya (dari perusahaan bersangkutan-red),” tukasnya. [rw/ah]