Masih tingginya angka prevalensi perokok anak di Indonesia, memunculkan kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai dampak ekonomi maupun kesehatan dari bahaya merokok. Pada diskusi daring yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Senin (31/8), dengan tema “Membendung Jumlah Perokok Anak Lewat Kenaikan Cukai,” Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia mengeluarkan sejumlah data dan temuan baru.
Harga rokok menurut PKJS mempengaruhi perilaku merokok, baik secara jumlah perokok maupun intensitas batang rokok yang dikonsumsi. Prevalensi merokok pada anak Indonesia pada tahun 2015 mencapai 2,7 persen; di mana jumlah terbesar duduk di bangku SMP, yaitu 16 kali jumlah perokok usia SD. Prevalensi tertinggi berdasarkan usia berada pada 16-28 tahun.
Kepala Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengungkapkan pentingnya kenaikan harga rokok agar anak dan remaja tidak mudah membeli rokok. Kenaikan cukai rokok, kata Teguh, menjadi salah satu kunci menekan konsumsi rokok khususnya pada anak dan remaja, karena faktor teman sebaya maupun harga rokok, sangat mempengaruhi peluang anak untuk merokok.
“Teman sebaya ini, dampaknya itu memang dari yang sangat kecil dengan Surkesnas sampai dengan yang besar sekali di IFLS (Indonesian Family Life Survey), tapi intinya, pesannya adalah peer effect (pengaruh teman sebaya) itu cenderung lebih besar ketika usianya SMP-SMA. Sedangkan harga memang terlihat bahwa semakin mahal harga rokok memang akan menurunkan peluang anak merokok, dan juga menurunkan intensitas merokok,” je;as Teguh Dartanto.
Teguh menambahkan, dari sejumlah survei lain, meski berbeda-beda prosentasenya, namun angka yang ditunjukkan sama-sama menunjukkan kenaikan prevalensi merokok pada anak, yang ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah selaku pembuat peraturan.
Kenaikan Cukai Ditengarai Hanya Berdampak Kecil
Sementara itu, pengamat ekonomi, Faisal Basri, menyoroti komitmen pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program kesehatan nasional, namun kenaikan cukai rokok pada RAPBN 2021 hanya naik sekitar tiga persen, di mana target cukai rokok mencapai sekitar Rp. 172 triliun atau 97 persen dari total penerimaan cukai. Kenaikan cukai rokok yang kecil ini, kata Faisal Basri, hanya berdampak kecil pada upaya menekan angka merokok pada anak.
Prevalensi perokok anak sesuai RPJM 2015-2019, justru mengalami kenaikan dari tahun 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen di tahun 2018. Padahal target penurunan pada 2019 sebesar 5,4 persen. Faisal Basri mengingatkan pemerintah mengatur penentuan harga rokok per batang agar tidak ada permainan harga di pasaran, selain menetapkan cukai yang tinggi.
“Bukan hanya cukai saja yang menjadi masalah, tapi di Indonesia ini pengusaha rokok itu punya keleluasaan untuk merekayasa harga, seolah-olah harga itu murah padahal per batangnya itu lebih tinggi. Oleh karena itulah harus ada pengaturan tentang jumlah batang per bungkus supaya tidak menimbulkan money illusion,” kata Faisal Basri.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, mengungkapkan keprihatinannya terkait naiknya pendapatan dari cukai rokok, yang dibanggakan oleh pemerintah. Padahal ini, menurutnya, menggambarkan kegagalan pemerintah mengendalikan konsumsi rokok terutama yang dikonsumsi oleh anak dan remaja.
“Kalau kita bilang kita menerima banyak dari cukai rokok, penerimaan pendapatan dari cukai rokok, tapi itu kan bukan menggambarkan pendapatan (negara), tapi itu menggambarkan bahwa kita tidak berhasil mengendalikan konsumsi rokok, karena jumlahnya terus meningkat dan di antaranya yang membeli rokok itu adalah anak-anak kita.”
Mungkinkah Cukai Rokok Disamakan dengan Cukai Minuman Beralkohol?
Selain menyetujui adanya kenaikan cukai rokok lebih dari 57 persen seperti yang diatur dalam Undang-Undang, Lisda berharap cukai rokok disamakan dengan cukai alkohol yang mencapai 80 persen. Selain cukai, penegakan aturan kata Lisda, juga harus mencakup masalah larangan menjual rokok batangan (eceran), iklan, promosi, serta sponsor rokok, yang diyakini menjadi faktor yang mempengaruhi anak untuk merokok.
“Lewat kenaikan cukai, saya setuju. Bukan cuma karena cukai saja yang kebijakannya harus ditegakkan, tapi termasuk juga iklan, promosi dan sponsor rokok. Tapi cukai adalah salah satunya. Jadi, kami berharap karena anak-anak yang mengakses rokok itu rokok secara batangan, jadi salah satu yang harus diikuti kebijakannya selain menaikkan cukai juga melarang menjual rokok batangan. Kalau kita mau serius, saya kira tidak ada salahnya kita mulai mendiskusikan untuk mengenakan cukai rokok lebih dari 57 persen, atau kalau perlu kita samakan memperlakukan rokok dengan alkohol,” kata Lisda Sundari.
Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Wawan Juswanto, mengatakan penerapan kebijakan cukai hasil tembakau bertujuan untuk mengendalikan konsumsi, mengoptimalkan penerimaan negara, serta mempertimbangkan dinamika industri dalam negeri. Bila banyak elemen masyarakat yang menghendaki dinaikkannya cukai rokok, Wawan mempersilakan masyarakat bersama pemerintah dan DPR untuk merumuskan dan mengubahnya melalui perubahan Undang-Undang yang mengaturnya.
“Kalau memang mau mengubah Undang-Undang ya peran dari parlemen juga cukup penting, jadi memang ini bersama antara pemerintah, masyarakat dan juga perwakilan rakyat untuk merumuskan, kalau memang mau diubah ya ayo kita naikkan bersama,” jelasnya. [pr/em]