Mahasiswa dan aktivis kampus menyoroti kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan, khususnya yang mengatur keringanan uang kuliah tunggal (UKT). Isu ini terungkap dalam diskusi daring bertema “Mabuk UKT : Dihajar Kampus, Ditelantarin Negara”, yang diadakan Lokataru Foundation. Mahasiswa pun melaporkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, ke Komnas HAM.
Kesulitan ekonomi masyarakat selama masa pandemi corona juga berdampak pada sektor pendidikan, khususnya kemampuan mahasiswa dalam membayar uang kuliah tunggal (UKT). Peraturan Mendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan, khususnya mengenai keringanan biaya kuliah bagi mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS), pada prakteknya dinilai tidak memperhatikan kesulitan mahasiswa dalam membayar UKT. Dampak yang terjadi adalah ancaman putus kuliah atau drop out oleh kampus karena mahasiswa tidak mampu membayar biaya kuliah.
Vincentia Jyalita adalah mahasiswa, yang juga Ketua, Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ia menyebut pemerintah tidak hadir dalam konflik antara mahasiswa dan kampus. Konflik itu terkait kebijakan UKT yang tidak diturunkan, atau bahkan ada yang dinaikkan. Ketidakhadiran pemerintah, menurut Vincentia, menunjukkan sikap pemerintah yang menempatkan pendidikan sebagai bukan prioritas penting dalam pembangunan manusia Indonesia.
“Komitmen (pemerintah) dalam menjaga perekonomian sampai aspek kesehatan pun kelihatannya seperti urutan tambahan,” jelas Vincentia Jyalita.
Satria Unggul Wicaksana dari Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia, menyebut hak atas pendidikan adalah hak yang dilindungi secara afirmatif oleh negara. Undang-Undang tentang pendidikan, mewajibkan negara menganggarkan minimal 20 persen dari APBN.
Satria, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, menyoroti pembiaran sikap represif perguruan tinggi terhadap mahasiswa maupun dosen yang memprotes kenaikan UKT. Padahal, kata Satria, anggaran pendidikan nasional yang cukup besar seharusnya mampu membiayai pendidikan di Indonesia.
“Pemenuhan hak atas pendidikan itu satu-satunya hak yang ada di dalam Undang-Undang Dasar, yang wajib dipenuhi minimal 20 persen, sehingga Nadiem itu sebenarnya tinggal menjalankan, sebagai menteri yang mempunyai amanat konstitusi 20 persen. Jika UKT naik, atau UKT tidak diturunkan, minimal pertanyaan besarnya, alokasi anggaran pendidikan kita itu selama ini lari kemana, sehingga kemudian besaran untuk UKT tidak turun?,” jelas Satria Unggul Wicaksana.
Satria mendorong negara untuk hadir dan memastikan PTN dan PTS wajib memberikan akses kepada mahasiswa untuk memperoleh keringanan uang kuliah tunggal. Ia juga meminta ruang dialog lebih dikedepankan, dibandingkan sikap represif. Ia percaya, situasi demokrasi yang terbangun akan menjadi kuat bila kebijakan apa pun yang diambil dalam bidang pendidikan, turut melibatkan pendapat mahasiswa. [pr/ka]