Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar menyebut, dana desa bisa digunakan untuk tanggap darurat bencana. Abdul Halim menyampaikan itu di Yogyakarta, ketika menghadiri acara sanggat inovasi desa, pada Minggu (5/12).
“Dari peta BNPB itu ada 50 ribu desa yang potensi bencana, makanya kemudian di kebijakan Kementerian Desa, ada regulasi yang mengatur dibolehkannya penggunaan dana desa untuk tanggap tanggap darurat bencana, utamanya adalah untuk penyelamatan warga,” kata Abdul Halim.
Prioritas penggunaan dana desa dalam penanganan bencana, lanjut Abdul Halim, adalah untuk penyelamatan. Kebijakan itu sesuai dengan keputusan Presiden Jokowi, bahwa yang pertama dilakukan dalam kejadian bencana adalah peyelamatan warga. Halim menambahkan, dana desa bisa digunakan untuk pos itu, sesuai dengan aturan perundang-undangan yang sudah ditetapkan.
Namun Halim tidak menguraikan lebih rinci ketentuan dalam penggunaan dana desa ini. Dia hanya memastikan berulangkali, bahwa upaya tanggap darurat di tingkat desa dapat menggunakan dana yang dikirimkan setiap tahunnya oleh pemerintah pusat itu. Setiap desa di Indonesia, rata-rata bisa menerima bantuan dana hingga Rp 1 miliar per tahun.
Kebijakan Sulit Diterapkan
Pernyataan Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar bahwa dana desa bisa dipakai dalam tanggap darurat bencana, semestinya melegakan. Namun, bagi Tomon Haryo Wirosobo kebijakan itu masih menyisakan ganjalan.
Tomon Haryo adalah kepala desa di Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa di ujung utara Yogyakarta ini masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) letusan Gunung Merapi. Tidak hanya itu, seperti juga kawasan lain di Indonesia, desa ini juga terancam bencana seperti puting beliung, tanah longsor, banjir lahar, dan tentu saja letusan Merapi.
Dalam pelaksanaannya, kata Tomon Haryo, setiap dana desa turun, pemerintah kabupaten menetapkan sejumlah program yang harus dilaksanakan. Dana desa pun terkuras untuk program itu, sehingga kewenangan desa dalam penentuan program dinilai Tomon Haryo tidak terwujud. Pada berbagai pertemuan, pemerintah desa juga diyakinkan bahwa persoalan bencana menjadi kewenangan pemerintah daerah.
“Bencana ini menjadi kewenangan kabupaten, meskipun kita berada di daerah rawan bencana, tidak ada anggaran itu. Sampai hari ini saya belum melihat, desa-desa di wilayah KRB yang menganggarkan dana untuk bencana, karena semua bencana ditangani BPBD,” ujar Tomon Haryo yang sudah empat tahun memimpin Desa Wonokerto.
Selama ini, ketika bencana terjadi di wilayah desa, Tomon Haryo lebih sering menggunakan dana operasional kepala desa untuk bertindak. Tomon Haryo juga mempertanyakan, pada pos anggaran apa dana kebencanaan bisa masuk dalam sistem keuangan desa.
Kendala Birokrasi yang Mengganggu
Aktivis kemanusiaan dan pengamat kebencanaan, Hening Parlan menyebut, penggunaan dana desa untuk menanggulangi bencana menyisakan persoalan birokrasi dan teknokrasi dalam nomenklaturnya. Hening aktif di Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) dan telah menggeluti bidang ini selama kurang lebih 20 tahun.
Hening menyebut, dana desa hanya bisa dikeluarkan melalui nomenklatur yang telah disetujui di awal penyusunan anggaran. Jika akan dipakai untuk kebencanaan, maka harus ada nomenklatur khusus. Dalam sistem anggaran, dana ini dapat disebut sebagai dana siap pakai. Ketentuannya, jika tidak terpakai tahun ini, maka dana dapat disimpan untuk dipakai tahun berikutnya.
“Seharusnya di setiap desa, ada satu dana yang bisa diambil kapan saja, sehingga dana ini bisa terpakai. Karena kalau kita mengikuti birokrasi, mengeluarkan dana itu tidak mudah. Tidak ada satupun kepala desa, camat atau bupati yang mau dipenjara karena mengeluarkan uang untuk bencana. Sama-sama untuk kemanusiaan, tetapi di sini ada proses birokrasi dan teknokrasi, ada waktunya, ada nomenklaturnya, tidak bisa cepat,” ujar Hening. Dana semacam ini, tambah Hening, sudah ada di tingkat pemerintah kabupatan/kota. Tetapi ujarnya lagi, di tingkat desa belum biasa ditemukan.
Dalam beberapa kasus, kepala daerah juga memerlukan persetujuan DPRD untuk penetapan anggaran bencana darurat. Sistem serupa, juga belum ada di tingkat desa. Namun, tambah Hening, di luar berbagai persoalan itu, desa memang harus disiapkan untuk menghadapi bencana.
“Kita harus bikin siap desa itu untuk, menyiapkan dirinya terhadap resiko bencana. Karena dampak pertama bencana itu ada di desa. Kejadian bencana tidak pernah bisa diprediksi, sehingga masyarakat desa setempat harus siap dengan resiko, kalau daerahnya rawan bencana,” kata Hening.
Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta harus bekerja sama dalam upaya ini. Dalam kasus tertentu, dana sosial pihak swasta dapat dijadikan jalan keluar darurat, karena dapat digunakan tanpa mengikuti aturan birokrasi yang rumit dan panjang.
Hening juga berpesan agar perhatian tidak hanya diberikan dalam soal pendanaan, tetapi juga mitigasi bencana. Warga desa harus memahami potensi bencana di setiap wilayahnya, dan paham apa yang harus dilakukan jika tanda-tanda bencana sudah terlihat. Semua bisa dibentuk melalui pelatihan terus menerus.
BNPB sendiri menjadikan desa sebagai salah satu tulang punggung penanggulangan bencana. Salah satunya melalui program Desa Tanggung Bencana (Destana). Pada 2019 lalu, BNPB melakukan ekspedisi sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa. Sebanyak 512 desa di jalur ini disadarkan mengenai bahaya bencana tsunami yang mengintai mereka sewaktu-waktu. [ns/ab]