Anda mungkin termasuk yang kecewa dengan cara KPU menggelar debat pertama calon presiden lalu. Selain kaku, debat itu tak mampu menampilkan kualitas calon dalam memaparkan program untuk menarik minat pemilih.
Akun twitter KPU RI sempat membuat jajak pendapat mengenai menarik atau tidaknya debat pertama Pilpres 2019. Hasilnya, 77 persen warganet peserta jajak pendapat itu menyatakan debat tidak menarik. Jajak pendapat itu akhirnya dihapus oleh KPU RI dari akunnya.
Di tengah kekecewaan dan keraguan pada format debat kedua nanti, Fakultas Ilmu Sosial dan Politlik UGM dan Jaringan Demokrasi Indonesia, menggelar talk show pada Rabu (30/1) di kampus setempat. Acara ini bertajuk Bedah Program Capres/Cawapres 2019. Meski tak diberi label sebagai debat, adu program yang dilakukan dua tim pemenangan calon presiden jauh lebih menarik dan hidup daripada debat resmi oleh KPU.
Arsul Sani dan Trimedya Panjaitan berada di sisi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, sedangkan Bambang Widjojanto dan Surya Imam Wahyundi datang mewakili Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Dosen Fisipol UGM, Abdul Gafar Karim menjadi moderator, yang tampil cerdas dengan guyonan politik. Ratusan hadirin yang memenuhi aula Fisipol berulang kali terbahak dengan guyonan moderator dan kedua tim Capres.
"Kita tidak ingin demokrasi hanya menghasilkan noise atau kebisingan, tapi bisa terkonversi menjadi voice, aspirasi. Yang bisa mengarahkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik," kata Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto.
Sudirman Said dari BPN Prabowo-Sandi menyambut positif debat di kampus ini. "Ini adalah forum yang sangat sehat, dan benar kita butuh oase teduh, zona-zona netral yang membuat pikiran dan hati bertemu dalam keadaan lebih santun, bukan emosi yang muncul,” ujarnya.
Sementara itu Trimedya Panjaitan berharap, kemasan baru membawa angin segar. “Mudah-mudahan apa yang kami suguhkan menyejukkan dan substansinya bisa masuk,” kata Trimedya.
KPK Menjadi Sorotan
Ada 5 sesi talkshow antara TKN Jokowi-Ma’ruf dan BPN Prabowo-Sandi yang direncanakan digelar Fisipol UGM. Seri pertama ini mengambil tema “Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.”
Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat porsi cukup signifikan dalam seri pertama. Tidak salah jika TKN mengirimkan Arsul Sani, anggota Komisi III DPR RI dan BPN mengutus Bambang Widjojanto, mantan Ketua KPK. Keduanya cukup mendominasi perdebatan mengenai posisi KPK, upaya pemberantasan korupsi, visi pemerintah di sektor ini sekaligus anggaran yang ditetapkan untuk lembaga tersebut.
Bambang mengulik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang terus naik. Kenaikan itu merupakan prestasi pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Melihat lebih jauh, Bambang menegaskan di era Jokowi, kenaikan posisi Indonesia dalam indeks itu sangat kecil.
“Indonesia dari posisi 20 tahun lalu, naik 19 poin. Tetapi mari kita lihat ke dalam. Dari 19 poin capaian itu, kalau kita bagi, 4 tahun pemerintahan Pak Jokowi menaikkan 2 poin. Tetapi pemerintahan sebelumnya menaikkan 8 poin. Jadi kita bisa mengukur, seberapa hebat prestasinya,” kata Bambang.
Bambang juga membahas perbandingan anggaran yang diberikan kepada KPK dan kepolisian serta kejaksaan. Pada 2018, KPK mengelola anggaran sekitar Rp 800 miliar, sedangkan Kepolisian sekitar Rp 90 triliun. Angka ini menurut Bambang menunjukkan keberpihakan yang kurang terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.
Arsul Sani menjawab Bambang dengan menyatakan bahwa anggaran ditetapkan berdasar permintaan lembaga terkait.
“Kalau KPK hanya mengajukan 800 miliar, masa kita mau ngasih 5 triliun. Tidak bisa mekanisme itu. Kecuali kalau yang terjadi adalah KPK mengajukan 7 triliun, pemerintah hanya menyediakan 800 miliar, silakan dipersoalkan,” kata Arsul.“Dan kami belum pernah mengurangi satu rupiahpun, ajuan angaran dari KPK, bahkan sering kali kami bertanya ke KPK, kenapa tidak mengajukan penambahan anggaran,” tambahnya.
Perdebatan lain yang cukup menarik adalah konsep pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintahan. Penanganan terorisme juga disinggung, termasuk upaya agar langkah penegakan hukum tidak menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kesempatan ini, tiga panelis dihadirkan untuk menyampaikan pertanyaan mendalam kepada masing-masing tim. Penonton juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, mewakili aspirasi langsung dari masyarakat.
Bisa Ditiru KPU RI
Pengamat politik Arie Sujito kepada VOA mengatakan, debat KPU pertama terlalu kaku. Di samping itu, moderator tidak memiliki cukup ruang untuk mengeksplorasi gagasan setiap pasangan. Debat di kampus bisa dijadikan evaluasi, sehingga debat kedua dari KPU benar-benar sebuah debat.
“Justru debat publik yang tajam itu lebih menarik dibanding praktik kekerasan di lapangan atau hate speech di media sosial,” kata Arie.
Mengenai penampilan masing-masing tim pendukung capres dalam debat di UGM, Arie menilai cukup berimbang. TKN Jokowi-Ma’ruf cukup kaya akan data, tetapi ide-ide yang dibicarakan tidak dikembangkan. Sementara BPB Prabowo-Sandi tampil dengan artikulasi bagus, meskipun kurang dalam penyajian data.
Arie mendorong perguruan tinggi untuk turut menyelenggarakan debat Pilpres di sisa waktu yang masih ada. Program semacam ini, ujarnya, cukup membantu upaya pendidikan politik bagi pemilih. Karena itu, Arie mendorong KPU dan Bawaslu mengapresiasi kegiatan debat semacam ini dan bukan justru melarangnya.
“Kalau Anda cek di luar negeri, perdebatan kayak ini yang menyelenggarakan justru perguruan tinggi. Bebas, semua didatangkan dan tidak perlu sembunyi-sembunyi, terbuka saja,” ujar Arie.
“Yang penting keduanya diundang, biar publik tahu. Silahkan bertarung. Demokrasi itu memang begini, dinikmati saja. Kita harus punya tradisi itu, kalau tidak percuma. Dari pada umpat-umpatan di media sosial,”pungkasnya. [ns/uh]