WASHINGTON —
Amerika Serikat sekarang mengatakan ada bukti bahwa senjata kimia telah digunakan dalam perang sipil di Suriah, dan debat berlangsung mengenai apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Barack Obama mengenai hal ini.
Presiden mengatakan minggu lalu bahwa bukti-bukti menunjukkan pada penggunaan senjata kimia skala kecil. Para pejabat intelijen mengatakan bukti mengarah pada gas beracun, sarin, sebuah agen syaraf yang kuat yang dikatakan 500 kali lebih beracun dibandingkan sianida dan dapat membunuh mereka yang terpapar dalam waktu kurang dari semenit. Para pejabat di Inggris dan Perancis mengatakan mereka telah sampai pada kesimpulan yang sama.
Namun para pejabat AS dan sekutu-sekutunya juga mengatakan tidak jelas berapa banyak sarin yang telah digunakan dan siapa yang menggunakannya. Suriah diketahui memiliki simpanan besar senjata kimia, termasuk sarin, namun masih dipertanyakan apakah penggunaannya telah secara resmi di bawah perintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Isu ini terutama sulit bagi Obama karena ia mengatakan pada Agustus tahun lalu bahwa penggunaan senjata kimia secara sistematik melawan warga sipil di Suriah akan menjadi "pengubah permainan" yang menggeser kebijakan non-intervensi dari Washington. Presiden sekarang mengatakan perlu informasi lebih detil sebelum ada perubahan kebijakan.
Gregory Koblenz, ahli perang nuklir dan biologi pada Dewan Hubungan Internasional, mengatakan dugaan perang bersenjata kimia didasari pada dua bentuk bukti dari Suriah, yang keduanya belum memberikan informasi yang cukup mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Salah satu bukti adalah potongan video mengenai dugaan serangan kimia di rumah sakit Suriah," ujarnya pada VOA.
"Beberapa gejala yang kita lihat konsisten dengan paparan terhadap agen syaraf seperti sarin, namun masalahnya adalah ada senyawa-senyawa kimia lain yang dapat menyebabkan reaksi yang serupa, dan video-video tersebut tidak memberikan informasi dan konteks untuk benar-benar menilai apa yang terjadi dengan orang-orang ini."
Ada sampel-sampel tanah dan jaringan tubuh manusia yang dilaporkan telah diambil dari Suriah dan dianalisa di laboratorium-laboratorium di AS dan Inggris. Namun Koblenz mengatakan sampel-sampel ini juga tidak dapat diandalkan.
Sementara itu, Dr. Zaher Sahloul dari Chicago, presiden Asosiasi Medis Suriah-Amerika, yang baru saja kembali dari misi keenamnya di Suriah telah berbicara dengan petugas-petugas medis di tujuh rumah sakit di dan sekitar Aleppo.
“Dari enam atau tujuh serangan, mereka melaporkan gejala-gejala yang serupa. Ada serangan di Homs dan Aleppo, namun terbesar adalah pada 19 Maret di Khan al-Asal, dan ada 40 korban tewas serta lebih dari 300 orang yang dimasukkan ke rumah sakit untuk gejala-gejala tersebut. Beberapa diantaranya dirawat di unit perawatan intensif (ICU)," ujarnya.
Sahloul mengatakan pasien-pasien ini dilaporkan memiliki gejala-gejala yang "konsisten dengan sindrome kolinergik,” yang biasanya disebabkan oleh overdosis obat, makan jamur beracun atau paparan terhadap gas syaraf atau pestisida tertentu.
“Pasien-pasien tersebut memiliki gejala-gejala pernafasan dan syaraf, seperti sesak nafas, kegagalan sistem pernafasan, kebingungan, gangguan syaraf bahkan koma, dan juga gejala sakit mata," ujarnya.
Sahloul mengatakan ada senyawa kimia lain yang dapat menyebabkan gejala serupa seperti insektisida tertentu, tapi ia menghapus dugaan ini karena sangat tidak mungkin.
"Sangat tidak mungkin di enam atau tujuh daerah ada paparan terhadap insektisida, terutama karena ada pola yang sama: Ada ledakan, biasanya misil, dari jet tempur atau helikopeter, lalu orang melihat asap putih, dan kemudian mulai mengalami gejala-gejala," ujarnya.
Joel Rubin, direktur masalah kebijakan dan pemerintah untuk lembaga Ploughshares Fund di Washington DC, mengatakan sebelum pemerintah AS dapat mengambil tindakan apapun, situasi di Suriah harus benar-benar dipahami.
Rubin mengatakan pertanyaan yang lebih besar adalah bagaimana Barat, Rusia dan China harus bereaksi, dan ia menambahkan bahwa semua pilihan yang mungkin memiliki konsekuensi serius.
Beberapa politisi AS mendesak Gedung Putih untuk mulai mengirim senjata ke elemen-elemen oposisi Suriah yang telah dipilih. Namun Rubin mengatakan bahwa para pemberontak, beberapa diantaranya telah diidentifikasi sebagai kelompok teroris, tetap tidak diketahui jumlahnya.
Gary Schmitt, salah satu direktur lembaga keamanan Marilyn Ware Center for Security Studies di lembaga konservatif American Enterprise Institute, yakin pemerintah di Washington perlu bertindak secepat mungkin meski belum ada bukti definitif penggunaan senjata kimia.
"Jika terus ditunda akan menyebabkan ketidakstabilan yang sangat besar di wilayah itu, dan korban tewas akan terus jatuh," ujarnya.
Secara spesifik, ia merasa AS harus menciptakan zona larangan terbang dan zona aman untuk melindungi warga sipil.
Jika AS tidak bertindak, Schmitt khawatir salah satu dari dua hal berikut akan terjadi: “Jihadis akan mengontrol situasi setelah Assad pergi, atau situasi akan semakin hancur di Suriah yang membuat Beirut di Lebanon terlihat seperti New Jersey.” (VOA/Cecily Hilleary)
Presiden mengatakan minggu lalu bahwa bukti-bukti menunjukkan pada penggunaan senjata kimia skala kecil. Para pejabat intelijen mengatakan bukti mengarah pada gas beracun, sarin, sebuah agen syaraf yang kuat yang dikatakan 500 kali lebih beracun dibandingkan sianida dan dapat membunuh mereka yang terpapar dalam waktu kurang dari semenit. Para pejabat di Inggris dan Perancis mengatakan mereka telah sampai pada kesimpulan yang sama.
Namun para pejabat AS dan sekutu-sekutunya juga mengatakan tidak jelas berapa banyak sarin yang telah digunakan dan siapa yang menggunakannya. Suriah diketahui memiliki simpanan besar senjata kimia, termasuk sarin, namun masih dipertanyakan apakah penggunaannya telah secara resmi di bawah perintah Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Isu ini terutama sulit bagi Obama karena ia mengatakan pada Agustus tahun lalu bahwa penggunaan senjata kimia secara sistematik melawan warga sipil di Suriah akan menjadi "pengubah permainan" yang menggeser kebijakan non-intervensi dari Washington. Presiden sekarang mengatakan perlu informasi lebih detil sebelum ada perubahan kebijakan.
Gregory Koblenz, ahli perang nuklir dan biologi pada Dewan Hubungan Internasional, mengatakan dugaan perang bersenjata kimia didasari pada dua bentuk bukti dari Suriah, yang keduanya belum memberikan informasi yang cukup mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Salah satu bukti adalah potongan video mengenai dugaan serangan kimia di rumah sakit Suriah," ujarnya pada VOA.
"Beberapa gejala yang kita lihat konsisten dengan paparan terhadap agen syaraf seperti sarin, namun masalahnya adalah ada senyawa-senyawa kimia lain yang dapat menyebabkan reaksi yang serupa, dan video-video tersebut tidak memberikan informasi dan konteks untuk benar-benar menilai apa yang terjadi dengan orang-orang ini."
Ada sampel-sampel tanah dan jaringan tubuh manusia yang dilaporkan telah diambil dari Suriah dan dianalisa di laboratorium-laboratorium di AS dan Inggris. Namun Koblenz mengatakan sampel-sampel ini juga tidak dapat diandalkan.
Sementara itu, Dr. Zaher Sahloul dari Chicago, presiden Asosiasi Medis Suriah-Amerika, yang baru saja kembali dari misi keenamnya di Suriah telah berbicara dengan petugas-petugas medis di tujuh rumah sakit di dan sekitar Aleppo.
“Dari enam atau tujuh serangan, mereka melaporkan gejala-gejala yang serupa. Ada serangan di Homs dan Aleppo, namun terbesar adalah pada 19 Maret di Khan al-Asal, dan ada 40 korban tewas serta lebih dari 300 orang yang dimasukkan ke rumah sakit untuk gejala-gejala tersebut. Beberapa diantaranya dirawat di unit perawatan intensif (ICU)," ujarnya.
Sahloul mengatakan pasien-pasien ini dilaporkan memiliki gejala-gejala yang "konsisten dengan sindrome kolinergik,” yang biasanya disebabkan oleh overdosis obat, makan jamur beracun atau paparan terhadap gas syaraf atau pestisida tertentu.
“Pasien-pasien tersebut memiliki gejala-gejala pernafasan dan syaraf, seperti sesak nafas, kegagalan sistem pernafasan, kebingungan, gangguan syaraf bahkan koma, dan juga gejala sakit mata," ujarnya.
Sahloul mengatakan ada senyawa kimia lain yang dapat menyebabkan gejala serupa seperti insektisida tertentu, tapi ia menghapus dugaan ini karena sangat tidak mungkin.
"Sangat tidak mungkin di enam atau tujuh daerah ada paparan terhadap insektisida, terutama karena ada pola yang sama: Ada ledakan, biasanya misil, dari jet tempur atau helikopeter, lalu orang melihat asap putih, dan kemudian mulai mengalami gejala-gejala," ujarnya.
Joel Rubin, direktur masalah kebijakan dan pemerintah untuk lembaga Ploughshares Fund di Washington DC, mengatakan sebelum pemerintah AS dapat mengambil tindakan apapun, situasi di Suriah harus benar-benar dipahami.
Rubin mengatakan pertanyaan yang lebih besar adalah bagaimana Barat, Rusia dan China harus bereaksi, dan ia menambahkan bahwa semua pilihan yang mungkin memiliki konsekuensi serius.
Beberapa politisi AS mendesak Gedung Putih untuk mulai mengirim senjata ke elemen-elemen oposisi Suriah yang telah dipilih. Namun Rubin mengatakan bahwa para pemberontak, beberapa diantaranya telah diidentifikasi sebagai kelompok teroris, tetap tidak diketahui jumlahnya.
Gary Schmitt, salah satu direktur lembaga keamanan Marilyn Ware Center for Security Studies di lembaga konservatif American Enterprise Institute, yakin pemerintah di Washington perlu bertindak secepat mungkin meski belum ada bukti definitif penggunaan senjata kimia.
"Jika terus ditunda akan menyebabkan ketidakstabilan yang sangat besar di wilayah itu, dan korban tewas akan terus jatuh," ujarnya.
Secara spesifik, ia merasa AS harus menciptakan zona larangan terbang dan zona aman untuk melindungi warga sipil.
Jika AS tidak bertindak, Schmitt khawatir salah satu dari dua hal berikut akan terjadi: “Jihadis akan mengontrol situasi setelah Assad pergi, atau situasi akan semakin hancur di Suriah yang membuat Beirut di Lebanon terlihat seperti New Jersey.” (VOA/Cecily Hilleary)