VOA - Sedikitnya delapan narapidana kasus terorisme (napiter) yang sedang menjalani masa tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas) berikrar untuk kembali setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Rabu (9/3). Delapan napiter eks kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) itu sebelumnya terlibat dalam sejumlah aksi terorisme di Sumut.
Delapan orang itu adalah Tengku Rendi Santun, Riki Pranoto, M Safri Hartanto, Egi Feratama, Aris Saputra, Aruf Fadhillah, dan Dedi Suhendra yang merupakan napiter di Lapas Klas IA Tanjung Gusta Medan. Sedangkan, Dewi Anggraini adalah napiter di Lapas Wanita Tanjung Gusta. Dewi merupakan istri dari Rabbial Muslim Nasution yang merupakan eksekutor bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan pada tahun 2019 silam.
Dalam ikrar tersebut, delapan napiter itu berjanji untuk setia kepada NKRI, melepas baiat dari kelompok teroris, mengakui kesalahan, dan akan mengikuti program pembinaan.
Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumut, Imam Suyudi, berharap bahwa delapan napiter yang saat ini menyatakan ikrar benar-benar menyadari kesalahannya dan setia kepada NKRI.
"Mereka melaksanakan pembinaan di lapas baik pembinaan kepribiadian, keterampilan, dan sosial. Mereka nanti akan kami usahakan untuk bisa berinteraksi sehat kepada keluarga dan masyarakat," kata Imam, Rabu (9/3).
Lanjut Imam, nantinya saat para napiter itu bebas mereka akan tetap mendapatkan program dan bimbingan di Balai Pemasyarakatan. "Setelah itu juga nanti kami koordinasi dengan pemerintah daerah dan Densus 88 untuk program kegiatan lanjutan kepada mereka. Karena napiter harus dimonitor dalam rangka pembinaannya," ujarnya.
Usai menyatakan setia kepada NKRI, delapan napiter itu akan mendapatkan hak-haknya seperti remisi, asimilasi, hingga pembebasan bersyarat. Namun, saat ini masih ada delapan napiter yang belum bersedia untuk berikrar setia kepada NKRI.
"Di Sumut saat ini ada 16 napiter. Saat ini yang ikrar ada delapan. Masih ada delapan lagi dan kami berusaha untuk bisa mengikuti pembinaan seperti yang ini," ungkap Imam.
Ikrar Setia Sungguhan, atau Sekadar Untuk Dapat Pembebasan Bersyarat?
Pengamat terorisme, Stanislaus Riyanta, mengatakan pemerintah harus mewaspadai ikrar setia NKRI yang dilakukan oleh para napiter. Pasalnya, ikrar setia kepada NKRI merupakan salah satu syarat untuk pembebasan bersyarat sesuai Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018.
"Memang harus diwaspadai dan dicek lagi apakah ikrar itu hanya untuk sebagai syarat ketika mereka ingin mengajukan pembebasan bersyarat atau benar-benar menunjukkan bahwa mereka sudah berubah dari anti menjadi pro NKRI," katanya kepada VOA.
Stanislaus menilai para napiter yang menjalani program deradikalisasi harus benar-benar diselidiki latar belakangnya saat mendeklarasikan untuk setia kepada NKRI."Apakah itu hanya karena ingin pembebasan bersyarat atau memang murni karena sudah pro NKRI," ujarnya.
Menurut Stanislaus, pemerintah juga harus menyoroti jumlah napiter yang enggan berikrar setia kepada NKRI jauh lebih banyak. Bahkan ada beberapa napiter yang bebas tapi tidak setia kepada NKRI dan kembali melakukan aksi terorisme. "Kalau mereka melakukan (ikrar setia NKRI). Napiter beranggapan bahwa akan mengikuti peraturan atau undang-undang pemerintah yang selama ini mereka anggap thogut," ungkapnya.
Untuk itu pemerintah harus tetap memantau para napiter mengingat banyak dari mereka yang kambuh usai bebas dari menjalani masa tahanan. Program deradikalisasi yang diberikan terhadap para napiter juga harus melibatkan unsur non pemerintahan misalnya pemuka agama, masyarakat, dan pendekatan keluarga. "Supaya ketika sudah keluar dari lapas mereka tidak kembali ke ideologinya atau kelompoknya. Makanya harus dipantau dengan tepat termasuk dipastikan lagi bahwa komunikasi dengan kelompoknya terputus. Lingkungannya juga benar-benar sehat," ucap Stanislaus.
Bukan hanya itu, ada faktor lain yang harus dilakukan agar napiter tak kembali lagi ke kelompoknya maupun melakukan aksi terorisme saat dinyatakan bebas dari masa tahanan. Salah satunya adalah masyarakat harus mau menerima kehadiran napiter ketika dinyatakan bebas.
"Ada banyak kasus yang saya temui ketika dia bebas tapi masyarakat tidak mau menerima. Sementara satu-satunya yang mau menerima dia adalah kelompok asalnya sehingga dia kembali lagi menjadi seperti itu," jelas Stanislaus.
Untuk memastikan para napiter benar-benar setia kepada NKRI dan tidak lagi kembali lagi ke kelompoknya. Pemerintah harus melibatkan berbagai pihak dalam menangani persoalan terkait deradikalisasi napiter.
"Supaya ketika napiter bebas dia dapat diterima oleh masyarakat dan merasa benar-benar diterima agar tidak kembali ke kelompoknya lagi," pungkas Stanislaus. [aa/em]