Tautan-tautan Akses

Delapan Sutradara Bikin Film Virtual Reality Usung Disabilitas


Sejumlah penyandang disabilitas dan non-penyandang disabilitas menyaksikan film melalui kacamata VR dalam 'The Feelings of Reality' di Bandung, Kamis (14/11/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)
Sejumlah penyandang disabilitas dan non-penyandang disabilitas menyaksikan film melalui kacamata VR dalam 'The Feelings of Reality' di Bandung, Kamis (14/11/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)

Para pembuat film menggunakan teknologi realitas virtual (VR) untuk mengangkat kisah penyandang disabilitas. Proses produksi pun memberi tantangan tersendiri.

Delapan sutradara ini mengangkat berbagai kisah penyandang disabilitas dalam film mereka. Ada yang mengangkat kisah penyandang disabilitas yang membuat kaki palsu, ada yang menyorot kehidupan penyandang disabilitas yang menjadi terapis holistik, dan ada yang menghadirkan cerita tunanetra yang memakai mesin ATM.

Kisah-kisah ini mungkin sudah sering terdengar, tapi film-film ini menggunakan VR. VR adalah teknologi merekam video 360 derajat. Dengan bantuan kacamata khusus, penonton bisa menyaksikan film tersebut seolah berada di lokasi kejadian.

Ajiwan Arief Hendrardi, mentor pembuatan film, mengatakan film VR punya keunggulan.

“Kita bisa benar-benar merasakan tuh bagaimana kawan-kawan difabel (penyandang disabilitas, red)merasakan hambatan. Hambatannya seperti apa. Misalnya ketika ingin mengakses tangga,” jelasnya di sela-sela pemutaran di Bandung, Kamis (14/11).

Delapan Sutradara Bikin Film Virtual Reality Usung Disabilitas
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:01 0:00

Pegiat media disabilitas ‘SIGAB’ ini mengatakan, film jadi medium efektif untuk membongkar stigma di masyarakat. Apalagi penyandang disabilitas kerap digambarkan media sebagai orang tidak berdaya dan perlu dikasihani.

“Kalau misalnya difabel itu terus-menerus dihadirkan di media mainstream sebagai sosok yang tidak mampu, sebagai sosok yang butuh bantuan orang lain, dikasihani, bahkan agak lebay menggambarkannya, ya nanti masyarakat juga akan berpendapat seperti itu. Sampai nanti pun akan berpendapat seperti itu,” terangnya.

Film-film ini adalah bagian dari ‘The Feelings of Reality’, lokakarya film VR dari Festival Film Dokumenter. Para pembuat film yang terpilih didampingi oleh para mentor dalam merancang dan mengeksekusi sebuah dokumenter. Para pembuat film ini berdomisili di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.

Penulisan Kisah Jadi Tantangan Tersendiri

Ajiwan Arief dari SIGAB mengatakan film jadi sarana efektif untuk mengikis stigma di masyarakat. (VOA/Rio Tuasikal)
Ajiwan Arief dari SIGAB mengatakan film jadi sarana efektif untuk mengikis stigma di masyarakat. (VOA/Rio Tuasikal)

Tidak semua pembuat film sudah kenal isu disabilitas. Ajiwan menceritakan, ada sutradara yang terjebak stereotipe. Karena itu, komunitas penyandang disabilitas memberi masukan kepada mereka.

“Coba gali sesuatu yang lain yang itu kaitannya dengan hambatan-hambatan mereka. Misalnya di film Sumbawa itu kan bagaimana kawan-kawan netra, satu low-vision satu (tunanetra) total mengakses ATM. Atau bagaimana kawan tuli dan netra berinteraksi,” terangnya lagi.

Memproduksi film VR tentang penyandang disabilitas merupakan tantangan tersendiri. Selain teknologinya relatif baru, perlu kejelian dalam meramu kisah film.

Seperti dialami Gracia Tobing, pembuat film dari Bandung, yang memproduksi ‘Apa di Kata Nadakanlah, Apa di Nada Katakanlah’. Filmnya menggabungkan komposisi musik dengan percakapan telepon antara terapis holistik dan pasiennya.

Film ini tidak secara gamblang menyatakan bahwa dua tokoh di film itu adalah penyandang disabilitas. Sang sutradara ingin penonton tidak fokus pada disabilitas seseorang namun pada cara komunikasinya.

Pembuat film dari Bandung, Gracia Tobing, ingin penonton tidak fokus pada disabilitas seseorang namun pada cara para karakter berkomunikasi. (VOA/Rio Tuasikal)
Pembuat film dari Bandung, Gracia Tobing, ingin penonton tidak fokus pada disabilitas seseorang namun pada cara para karakter berkomunikasi. (VOA/Rio Tuasikal)

“Untuk membuat orang jadi setara ya kita jadi bisa merasakan ‘oh ternyata ngobrol dengan tunanetra bisa kok jokes-nya nyambung’. Kadang-kadang kita masih takut kan, aduh takut menyindir,” jelas Gracia dalam kesempatan yang sama.

Lewat filmnya yang berdurasi 19 menit, Gracia berharap masyarakat bisa lebih memahami penyandang disabilitas.

“Oh ternyata ada kok yang biasa-biasa aja. Ada yang sesama kocak gitu masih ada. Jadi nggak yang super segan,” ujarnya lagi sambil tertawa kecil.

Film VR Perlu Lebih Memasyarakat

Film VR masih dianggap eksklusif karena perlu memakai kacamata khusus. Harga gawai ini pun tidak bisa dibilang murah. Sebagai alternatif, film VR tetap bisa ditonton di YouTube atau menggunakan kacamata cardboard yang lebih murah.

Menurut Ceuceu, seorang warga biasa yang bukan penyandang disabilitas, film VR perlu sarana distribusi yang lebih memasyarakat.

“Untuk edukasi dan advokasi di masyarakat ini harus dibuat film yang bisa diputar di mana saja. Untuk pendidikan untuk ke sekolah,” jelasnya kepada VOA.

Ceuceu berharap film VR bisa membantu mengedukasi masyarakat untuk lebih menerima penyandang disabilitas.

“Jangan mengistimewakan mereka bahwa mereka orang yang berkebutuhan khusus. Jadi manusiakanlah mereka seperti manusia,” pesannya. [rt/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG