Setelah sejenak tenang, para pengunjuk rasa kembali ke jalan-jalan, memblokir beberapa jalan di sekitar ibu kota Lebanon, Beirut, dan daerah-daerah lain di negara itu, Selasa (14/1) dalam demonstrasi baru melawan elit penguasa yang mereka anggap gagal mengatasi ekonomi yang menurun tajam.
Para pengunjuk rasa membakar ban-ban dan memblokir tiga ruas jalan raya utama menuju ibu kota dari arah selatan, timur dan utara, yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Sejumlah pelajar dan mahasiswa ikut serta dalam beberapa protes dan ratusan orang berpawai di jalan raya utama, mengibarkan bendera Lebanon dan mengumandangkan lagu-lagu penyemangat demo melalui pengeras suara.
Setelah beberapa minggu relatif tenang, para pengunjuk rasa kembali turun ke jalan setelah penetapan Hassan Diab sebagai perdana menteri pada pertengahan Desember 2019. Jeda itu sebagian disebabkan oleh beberapa liburan yang kemudian diikuti meningkatnya ketegangan regional antara AS dan Iran, membuat mundur sejumlah pengunjuk rasa di Lebanon dan Irak menuntut perubahan politik secara besar-besaran.
“Tujuan protes hari ini adalah menghidupkan kembali revolusi sekaligus menunjukkan kepada para penguasa bahwa revolusi akan tetap ada, dan tidak ada yang bisa menyingkirkannya,” papar Rabie al-Zain, seorang aktivis yang berdemo di utara Beirut. “Hari ini sejumlah pelajar bergabung dalam revolusi – mereka yang akan memimpin negara ketika penguasa saat ini masuk tempat sampah dalam sejarah.”
Di pusat kota Beirut, puluhan orang berunjuk rasa di luar Bank Sentral, meneriakkan tentangan terhadap Gubernur Bank Sentral beserta kebijakan keuangannya. Pasukan keamanan menghalangi para pengunjuk rasa menuju pintu masuk bank tersebut.
Di Tripoli, kota di bagian utara dan di provinsi Akkar, pengunjuk rasa duduk di jalan-jalan dan memblokir beberapa jalan dengan membakar ban atau batu bata. Di Sidon, kota di bagian selatan, puluhan pengunjuk rasa berpawai di jalan-jalan, berkumpul di luar bank dan kantor-kantor pemerintah.
Lebanon menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade, dengan nilai mata uangnya yang anjlok terhadap dolar, merosot lebih dari 60 persen nilainya dalam beberapa minggu terakhir sementara sumber valuta asing kian menyusut.
Sementara itu, sejumlah bank memberlakukan pengawasan informal terhadap modal dengan membatasi penarikan dolar dan transfer ke luar negeri sementara negara tersebut sangat bergantung pada impor barang-barang pokok.
Kepanikan merebak di antara warga yang khawatir simpanan mereka terancam. Protes nasional selama tiga bulan telah gagal menekan sejumlah politisi untuk membentuk pemerintahan baru untuk melembagakan reformasi secara drastis. [mg/uh]