Ratusan demonstran prodemokrasi Thailand turun ke jalan-jalan pada hari Kamis (24/6), menyerukan pengunduran diri PM Prayuth Chan-ocha dan perubahan konstitusi yang akan membatasi pengaruh monarki yang kuat di negara itu.
Protes tersebut, yang membangkang larangan pertemuan umum karena pandemi, berlangsung sewaktu pemerintah Prayuth menghadapi kritik publik terkait penanganannya mengenai wabah virus corona, lambannya kepulihan ekonomi dan kebijakan vaksin yang melibatkan perusahaan milik Raja Maha Vajiralongkorn.
“Konstitusi harus berasal dari rakyat,” kata pemimpin protes, Jatupat “Pai Daodin” Boonpattaraksa, kepada massa di ibu kota, Bangkok.
Demonstrasi yang dipimpin kaum muda tahun lalu menarik ratusan ribu orang dari berbagai penjuru negara itu, tetapi protes terhenti setelah pasukan keamanan mulai mengambil tindakan keras terhadap rapat-rapat umum, menahan para pemimpin protes dan setelah terjadi gelombang baru infeksi COVID-19.
Para demonstran telah melanggar tabu tradisional dengan mengkritik raja, menghadapi risiko penuntutan di bawah UU lese majeste yang ketat, yang membuat siapapun yang menghina atau mencemarkan nama baik raja, ratu, keturunan mereka dan para bangsawan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun. Sebagian besar pemimpin protes telah dibebaskan dengan jaminan.
Pada Maret lalu, puluhan orang cedera sewaktu polisi menembakkan meriam air, gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan protes.
Protes hari Kamis (24/6), yang juga mencakup sejumlah mantan pendukung Prayuth, menandai hari ketika Thailand menyatakan berakhirnya monarki absolut pada 24 Juni 1932.
“Dalam 89 tahun setelah berakhirnya absolutisme, kita tidak mencapai kemajuan apapun,” kata Jatupat.
Sekitar 2.500 polisi telah dikerahkan untuk memelihara ketertiban, kata deputi kepala polisi Bangkok, Piya Tavichai.
“Pertemuan sekarang ini tidak pantas karena ini dapat menyebabkan penyebaran virus lebih jauh lagi,” lanjutnya. [uh/ka]