Ribuan warga Israel berkumpul di Tel Aviv pada Sabtu (20/1) untuk memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Para demonstran menuduh pemimpin veteran itu salah dalam menangani keamanan negara dan mendesak diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu).
Protes anti-pemerintah yang mengguncang negara sebagian besar pada 2023 berhenti setelah serangan oleh Hamas di selatan Israel pada 7 Oktober. Perpecahan politik diabaikan ketika warga Israel bersatu di belakang militer dan keluarga korban yang tewas atau diambil sebagai tawanan.
Namun perang dahsyat di Gaza yang sudah memasuki bulan keempat dan jajak pendapat menunjukkan rendahnya dukungan terhadap Netanyahu. Seiring dengan hal itu, seruan untuk pergantian kepemimpinan semakin kuat, meski tidak ada indikasi bahwa posisinya berada dalam ancaman.
Hal itu tercermin dalam jumlah pemilih yang hadir pada Sabtu (20/1) malam di alun-alun pusat Tel Aviv, tempat banyak protes tahun lalu terjadi.
Walaupun jumlah massa lebih sedikit dibandingkan tahun lalu, jumlah tersebut masih berjumlah beberapa ribu orang, banyak di antaranya yang menabuh genderang, meneriakkan kekecewaan, dan mengibarkan bendera Israel.
“Pemerintah yang meninggalkan kami pada 7 Oktober terus meninggalkan kami setiap hari sejak itu – mereka yang dievakuasi dari (perbatasan) utara dan selatan, keluarga para korban, tentara cadangan, para sandera,” kata Noam Alon, yang saudara laki-lakinya, seorang tentara, terbunuh saat mencoba membersihkan kota Israel dari Hamas.
“Kekuasaan ada di tangan kita untuk berubah dan memperbaiki,” ujarnya dari atas panggung. "Pemerintah ini harus pulang. Sekarang!"
Dan orang banyak itu menjawabnya sambil berteriak: "Sekarang! Sekarang!"
Meskipun perpecahan muncul di antara anggota kabinetnya pada masa perang, Netanyahu bertekad untuk tetap berkuasa.
Para pemimpin oposisi telah menawarkan untuk membentuk pemerintahan persatuan yang tidak dipimpin oleh Netanyahu, tetapi belum mendapat dukungan. [ah/ft]
Forum