Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengumumkan pemberlakukan denda akan berlaku selama 14 hari, yang dimulai pada 27 Juli. Dia mengatakan, denda ditempuh karena edukasi dan teguran tidak mampu mendisiplinkan masyarakat.
"Kita monitor laporan dari pak Kapolda, dan kita lihat sehari-hari, orang sudah cuek tidak mengenakan masker di tempat umum. Maka opsi ketiga setelah edukasi, setelah teguran, masuk denda ini akan kita lakukan," ujarnya dalam konferensi pers di Bandung, Senin (13/7) sore.
Emil, sapaan akrabnya, mengatakan denda akan diatur dalam Pergub yang kini sedang dipersiapkan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Ia pun memberikan waktu dua minggu kepada seluruh institusi di jawa barat untuk melakukan sosialisasi. Penegakkan hukum akan dilakukan Satpol PP, polisi, dan TNI.
"Kalau tidak bisa membayar denda, salah satu opsinya adalah kurungan atau kerja sosial yang finalisasinya sedang akan disiapkan oleh kejaksaan tinggi, tambahnya.
Seluruh uang yang didapat dari denda, ujar Emil, akan masuk ke kas daerah. Namun dia berharap tak banyak orang yang kena denda ini.
"Karena bukan tujuan kami mencari denda. Tujuan kami mah tidak perlu ada denda, asal kedisiplinan itu ada,” tandasnya.
Emil mengatakan, denda tidak akan berlaku bagi tiga kegiatan.
“Kalau ia sedang pidato seperti saya itu tidak harus. Kemudian sedang olahraga kardio tinggi, seperti lari kencang atau sepeda kencang, itu diizinkan tidak pakai. Kemudian makan di ruang publik itu juga dibolehkan. Di luar itu akan ada denda,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah denda berlaku bagi yang berkerumun, dia mengatakan tidak.
Efektivitas Dipertanyakan
Peneliti Kesehatan Masyarakat, Irma Hidayani, mengatakan meski langkah itu perlu diapresiasi, efektivitasnya perlu dipertanyakan.
Irma mencontohkan, sejumlah negara seperti Italia berhasil mengurangi tingkat penularan Covid-19 dengan denda. Namun dendanya sangat besar dan semakin besar ketika orang yang sama melanggar berulang kali.
Menurut Irma, denda masker tidak akan efektif jika tidak dibarengi kebijakan yang komprehensif. Di sisi lain, pemerintah telah membuka kembali banyak kegiatan masyarakat.
"Kalau dibebaskan (berkegiatan) seperti ini, kemudian orang disuruh pakai masker, saya kira keberhasilannya sama sekali tidak akan signifikan. Kalau pun tidak ada orang yang melanggar, tetap tidak signifikan. Dan itu tidak menyelesaikan masalah penyebaran virus, ujarnya kepada VOA.
Menurut inisiator gerakan Lapor COVID-19 ini, warga yang sedang berkerumun juga harus ditegur dan dibubarkan. Di sisi lain, pencegahan terbaik menurutnya tetaplah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Harusnya PSBB lagi lah paling enggak. Itu sebenarnya langkah pengendalian infeksi yang paling efektif, hingga obat atau vaksin itu ditemukan, ujarnya.
Di samping itu, menurut Irma, besaran denda, yaitu Rp 100 ribu - 150 ribu tidak begitu berarti bagi kelompok ekonomi menengah ke atas.
"Bagaimana dengan ketimpangan kelas itu tadi, 150 untuk kelas menengah ke atas kecil banget ya. (Beda) Kalau untuk buruh harian, yang akan rentan terkena (Covid-19)," tukasnya.
Penegakan hukum juga perlu diawasi ketat, menurut Irma. Pasalnya, ada kemungkinan terjadi pemberian sogokan kepada petugas dari warga yang melanggar. Dia mencontohkan, dalam data Lapor COVID-19, sejumlah warga mengaku pernah memberi ‘uang damai' kepada petugas ketika terkena razia PSBB.
Denda ini diumumkan ketika Jabar mencatat 5.160 kasus positif dan 3.078 kasus di antaranya masih aktif. Jabar mengalami lonjakan 1.200-an kasus belum lama ini dari Klaster Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI AD di Kota Bandung. Dalam data terbaru per Senin (13/7) pagi, sebanyak 98 pasien di klaster tersebut telah dinyatakan negatif hasil tes swab ke-2. [rt/ft]