Ratusan orang masih berunjuk rasa di depan Parlemen Denmark, Jumat (23/4). Demonstrasi itu telah berlangsung berhari-hari setelah Denmark memutuskan menjadi negara Eropa pertama yang mulai mencabut izin tinggal beberapa pengungsi Suriah.
Denmark berpendapat ibu kota Suriah Damaskus dan wilayah tetangganya sudah aman sehingga warga Suriah yang memperoleh status suaka sementara sekarang dapat pulang.
Keputusan tersebut terutama mempengaruhi para perempuan Suriah, yang hanya diberikan perlindungan sementara, setelah melarikan diri dari perang saudara di negara mereka.
Keputusan itu tidak mempengaruhi mereka yang dapat membuktikan bahwa mereka menghadapi ancaman khusus terhadap nyawa mereka, seperti pria-pria yang dapat dikenai wajib militer oleh pemerintah Presiden Bashar Assad.
Faeza Satouf, 25, adalah salah seorang perempuan yang menghadapi masa depan yang tidak pasti karena kebijakan itu. Sejak tiba pada 2015, Satouf telah belajar bahasa Denmark, lulus SMA dengan gemilang, dan sekarang belajar menjadi perawat sambil bekerja di supermarket. Keluarganya bisa tinggal, tapi ia diperintahkan pergi sebelum 30 April.
"Saya menjadi sangat sedih dan kesal karena sangat sulit bagi saya untuk memahami bahwa apa yang saya bangun di sini di Denmark tiba-tiba runtuh," katanya. Ia menolak anggapan bahwa Suriah aman.
"Ayah saya dicari di Suriah, saya tentu saja akan ditangkap setibanya di bandara. Mereka akan mengancam saya dan memaksa saya untuk memberi tahu di mana ayah saya berada dan memaksanya untuk kembali dan ia akan ditangkap juga," kata Satouf.
Mayoritas di Parlemen mendukung kebijakan imigrasi pemerintah sayap kiri yang lebih ketat yang bertujuan meminimalkan keberadaan para pencari suaka.
Anggota parlemen dari partai oposisi Sikandar Siddique mengatakan sentimen rasisme mewarnai kebijakan itu. "Anda menyaksikan para politisi arus utama mengadopsi kebijakan partai-partai ekstrem kanan terhadap pengungsi, terhadap Muslim dan minoritas. Anda sebenarnya menyaksikan rasisme," katanya.
Bagi warga Suriah yang kehilangan izin tinggal, hidup mereka di Denmark bisa di pusat penahanan terpencil, sekitar 300 kilometer dari Kopenhagen. Karena Denmark tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Suriah, mereka yang menolak meninggalkan Denmark tidak dapat dideportasi. [ab/uh]